Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Majelis Angka: Ketika Harga Keadilan Bertarif

Kompas.com - 24/01/2022, 14:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Menegakkan hukum
Ternyata butuh biaya
Beratus-ratus juta

Mencari keadilan
Ternyata melelahkan
Dan perlu uang
Beraratus-ratus juta

Tapi rakyat sudah melek hukum
Tanpa ketukan palu hakim
Mereka sudah tahu
Siapa yang benar
Siapa yang butuh uang
Beratus-ratus juta

“Okelah kalau begitu”
Kata warteg boys
Dan rakyat tahu
Dewi keadilan sudah tak tahu malu
Ia tak hanya menggenggam pedang
Tapi sudah tahu uang
Beratus-ratus juta

Koin-koin dikumpulkan
Uang recehan dihimpun
Orang-orang kecil
Yang sering ditelikung pengadilan korup
Bah!

Kini beratus-ratus juta
Uang recehan itu siap dilemparkan
Ke muka hakim

Puisi berjudul “Kepada Koin” ini ditulis sahabat saya mendiang Asep Sambodja saat berada kereta api Argo Lawu dalam perjalanan Yogya menuju Jakarta awal Desember 2009 silam.

Ketika bekerja bersama di Majalah Berita “Sinar” di tahun 1995 - 1996, saya sudah melihat idealisme yang tinggi dari alumni Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) ini.

Mungkin karena sama-sama alumni UI yang kebetulan “membenci” rezim tiran Orde Baru, Asep yang begitu mendalami dunia sastra dan sebaliknya saya yang berkhidmat di kajian komunikasi politik, angle tulisan yang kami garap berdua mengkritik ketimpangan yang ada saat itu.

Andai Asep Sambodja masih hidup saat ini dan sempat melihat “kebobrokan” dunia peradilan saat ini, mungkin saja puisi di atas akan direvisinya.

Harga keadilan yang ditarif Dewi Keadilan bukan lagi senilai ratusan juta, tetapi sudah menyentuh miliaran rupiah, bahkan lebih.

Tersebutlah seorang hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang bernama Itong Isnaeni Hidayat.

Saat menangani perkara pembubaran PT Soyu Giri Primedika (SGP), ternyata ketok palu putusan yang ditangani Itong bisa diatur menurut penelusuran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Melalui pengacara PT SGP Hendro Kasino, PT SGP harus dibubarkan agar aset perusahaan senilai Rp 50 miliar bisa dibagi.

Bagai pucuk dicinta ulam pun tiba, ketok palu putusan dari hakim Itong tidak “gretongan”. Harga keadilan tersebut bertarif Rp 1,3 miliar.

Saat Hendro menyerahkan uang muka Rp 140 juta melalui panitera pengganti PN Surabaya bernama Hamdan, petugas KPK menangkapnya dalam operasi tangkap tangan atau OTT di Surabaya (Rabu, 19 Januari 2021).

KPK menduga baik hakim Itong, pengacara Hendro dan panitera Hamdan terlibat kongkalingkong untuk mengurus perkara pembubaran PT SGP.

Dana untuk dewi keadilan senilai Rp 1,3 miliar rencananya akan dibagi untuk para hakim, mulai dari pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung (Kompas.com, 21/01/2022).

Kode upeti untuk penyamaran suap

Tidak hanya menguasai ilmu hukum dalam praktik, hakim Itong dan panitera pengganti Hamdan ternyata juga menguasai bahasa isyarat.

Untuk melancarkan transaksi suap-menyuap, dipakailah kode “upeti” untuk pemberian suap.

Saya jadi teringat dengan kode “sumbangan untuk masjid” untuk menyamarkan kutipan proyek-proyek pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di lingkungan Pemerintahan Kota Bekasi yang dilakukan Wali Kota Rahmat Effendi (Kompas.com, 07/01/2022).

Rahmat sudah menyandang status tersangka usai ditangkap KPK.

Kode “sapi betina” atau nama surat dalam kitab suci Al Quran “Al Baqarah” sering dipakai oleh pelaku rasuah kasus penambahan kuota impor daging sapi yang melibatkan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat itu, Luthfi Hasan Ishaaq, dengan orang kepercayaannya Ahmad Fathanah pada 2013.

Baik Luthfi maupun Fathanah sudah divonis dan mendekam di penjara.

Modus-modus kasus rasuah di tanah air selama ini memang lekat untuk menyamarkan permintaan uang dan penyediaan fasilitas dengan bahasa-bahasa simbol.

Dalam konteks penggunaan bahasa isyarat dalam kasus-kasus rasuah, biasanya digunakan untuk menghindari sadapan atau mengaburkan makna dari amatan pihak lain.

Komunikasi yang digunakan dalam keseharian terdiri dari dua macam, yakni komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal.

Komunikasi verbal adalah komunikasi yang dilakukan menggunakan kata-kata. Sementara komunikasi non-verbal menggunakan isyarat tertentu atau bahasa tubuh.

Meski demikian, dua model komunikasi tersebut bisa dipadupadankan, sehingga komunikasi bisa berbentuk kalimat verbal, tetapi mempunyai isyarat tertentu.

Komunikasi dengan memadukan bahasa verbal dan isyarat ternyata tidak selamanya digunakan untuk hal positif.

Sebut saja dalam kasus-kasus rasuah di tanah air, komunikasi semacam ini justru digunakan untuk mengelabuhi orang lain.

Terlebih bagi para pelaku kasus korupsi, mereka menggunakannya untuk menyembunyikan maksud terselubung.

Mereka menggunakan kata-kata tertentu untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya. Cara komunikasi ini kemudian kerap disebut sebagai sandi atau kode.

Sandi atau kode yang telah disepakati, galibnya dilakukan secara berulang dan menjadi kebiasaan untuk menyamarkan aktivitas dan keinginan para pihak.

KPK menduga, Hakim Itong tidak sekali ini saja tersangkut dengan patgulipat keadilan yang bertarif, tetapi juga untuk kasus-kasus lain yang ditanganinya selama ini.

Hakim Itong Isnaeni ternyata pernah diskors Mahkamah Agung karena putusannya yang “nyentrik”.

Saat bertugas di PN Tanjungkarang, Lampung, Hakim Itong pernah membebaskan mantan Bupati Lampung Timur Satono yang menjadi terdakwa korupsi pada tahun 2011.

Satono didakwa melakukan korupsi dengan nilai mencapai Rp 199 miliar.

Tidak hanya itu, Hakim Itong juga membebaskan Bupati Lampung Tengah Andy Achmad Sampurna Jaya dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 28 miliar.

Di pengadilan tingkat kasasi, putusan Hakim Itong dikoreksi. Satono akhirnya dihukum 15 tahun penjara, sedangkan Andy diganjar 12 tahun bui.

Itong diskors karena terbukti melanggar kopde etik atas kedua kasus yang ditanganinya ini (Kompas.com, 20/01/2022).

Saat konferensi pers di KPK untuk mengumumkan OTT kasus Itong (Kamis 20/01/2022), dengan berani dan menantang Itong berteriak kalau penangkapannya adalah rekayasa tanpa bukti.

Para pengawal KPK yang berjaga dengan sigap mengendalikan kemarahan Itong dan kejadian ini menjadi kali pertama ada tersangka yang berani “bersuara” saat konferensi pers pimpinan KPK tengah berlangsung.

Kasus Hakim Itong pembuka kotak pandora

Melihat pengungkapan kasus “rekayasa” keadilan yang terjadi di pengadilan, sudah saatnya semua kalangan berkomitmen untuk membuka dan berani untuk membersihkan rumah dewi keadilan dari tikus-tikus peremah keadilan.

Komitmen untuk menegakkan wibawa keadilan tidak saja harus dituntut dari warga yang berperkara, tetapi juga harus berasal dari pengacara, jaksa serta hakim.

Hakim yang menjadi garda terakhir putusan yang berkeadilan harus merawat dan meruwat marwah hukum dan keadilan.

“Kendati kapal akan karan, tegakkan hukum dan keadilan! Jangan takut menegakkan hukum dan jangan takut mati demi menegakkan hukum”.

Walaupun absurb, selarik pesan dari mendiang Baharuddin Lopa, Jaksa Agung di era Presiden Abdurrahman Wahid itu sangat relevan sepanjang masa dan harusnya dijadikan komitmen bersama.

Jika tidak, maka rasuah demi rasuah di lingkungan peradilan menjadi momok tersendiri bagi para pencari keadilan ketika vonis bisa dinego dengan kekuatan kapital dan kekuasaan.

Saya yakin kasus hakim seperti Itong banyak ditemui di semua peradilan.

Tetapi saya juga tidak kalah yakin masih lebih banyak lagi hakim-hakim yang mewarisi semangat Baharuddin Lopa.

Seperti halnya hakim, KPK juga bukan Tuhan dan terbuka kemungkinan menjalankan kesalahan dan cacat prosedur.

Kasus penyidik KPK yang bernama Stepanus Robin Pattuju dalam pusaran kasus rasuah Mantan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin memperlihatkan fakta penyalahgunaan kekuasaan di lembaga antirasuah.

Oknum KPK pun doyan “fulus”. Demikian juga dengan kasus Harun Masiku di KPK yang hingga kini “lenyap” di telan bumi juga menjadi antitesa penegakkan keadilan di tanah air.

Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Hukum harus tegak berdiri walau ada iming-iming hukum bisa dibayar.

Dunia penegakkan hukum di tanah air itu ibaratnya seperti hutan belantara. Di mana seseorang demikian mudahnya untuk difitnah, diperkarakan, dilucuti kedaulatan politiknya bahkan hingga hilangnya nyawa.

Dunia penegakkan hukum di tanah air itu laksana kehidupan “liar” di hutan belantara di mana pilihan-pilihan tersebut direduksi sedemikian rupa.

Tinggal tersedia pilihan: dimangsa atau dimangsa! Jangan sampai dipaksa kalah dan divonis salah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Nasional
Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

Nasional
Kubu Prabowo Sebut 'Amicus Curiae' Megawati soal Kecurangan TSM Pilpres Sudah Terbantahkan

Kubu Prabowo Sebut "Amicus Curiae" Megawati soal Kecurangan TSM Pilpres Sudah Terbantahkan

Nasional
BMKG Minta Otoritas Penerbangan Waspada Dampak Erupsi Gunung Ruang

BMKG Minta Otoritas Penerbangan Waspada Dampak Erupsi Gunung Ruang

Nasional
Demokrat Tak Resisten jika Prabowo Ajak Parpol di Luar Koalisi Gabung Pemerintahan ke Depan

Demokrat Tak Resisten jika Prabowo Ajak Parpol di Luar Koalisi Gabung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Nasional
Aktivis Barikade 98 Ajukan 'Amicus Curiae', Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Aktivis Barikade 98 Ajukan "Amicus Curiae", Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Nasional
Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Nasional
KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Nasional
Apa Gunanya 'Perang Amicus Curiae' di MK?

Apa Gunanya "Perang Amicus Curiae" di MK?

Nasional
Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Nasional
Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com