Itong diskors karena terbukti melanggar kopde etik atas kedua kasus yang ditanganinya ini (Kompas.com, 20/01/2022).
Saat konferensi pers di KPK untuk mengumumkan OTT kasus Itong (Kamis 20/01/2022), dengan berani dan menantang Itong berteriak kalau penangkapannya adalah rekayasa tanpa bukti.
Para pengawal KPK yang berjaga dengan sigap mengendalikan kemarahan Itong dan kejadian ini menjadi kali pertama ada tersangka yang berani “bersuara” saat konferensi pers pimpinan KPK tengah berlangsung.
Melihat pengungkapan kasus “rekayasa” keadilan yang terjadi di pengadilan, sudah saatnya semua kalangan berkomitmen untuk membuka dan berani untuk membersihkan rumah dewi keadilan dari tikus-tikus peremah keadilan.
Komitmen untuk menegakkan wibawa keadilan tidak saja harus dituntut dari warga yang berperkara, tetapi juga harus berasal dari pengacara, jaksa serta hakim.
Hakim yang menjadi garda terakhir putusan yang berkeadilan harus merawat dan meruwat marwah hukum dan keadilan.
“Kendati kapal akan karan, tegakkan hukum dan keadilan! Jangan takut menegakkan hukum dan jangan takut mati demi menegakkan hukum”.
Walaupun absurb, selarik pesan dari mendiang Baharuddin Lopa, Jaksa Agung di era Presiden Abdurrahman Wahid itu sangat relevan sepanjang masa dan harusnya dijadikan komitmen bersama.
Jika tidak, maka rasuah demi rasuah di lingkungan peradilan menjadi momok tersendiri bagi para pencari keadilan ketika vonis bisa dinego dengan kekuatan kapital dan kekuasaan.
Saya yakin kasus hakim seperti Itong banyak ditemui di semua peradilan.
Tetapi saya juga tidak kalah yakin masih lebih banyak lagi hakim-hakim yang mewarisi semangat Baharuddin Lopa.
Seperti halnya hakim, KPK juga bukan Tuhan dan terbuka kemungkinan menjalankan kesalahan dan cacat prosedur.
Kasus penyidik KPK yang bernama Stepanus Robin Pattuju dalam pusaran kasus rasuah Mantan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin memperlihatkan fakta penyalahgunaan kekuasaan di lembaga antirasuah.
Oknum KPK pun doyan “fulus”. Demikian juga dengan kasus Harun Masiku di KPK yang hingga kini “lenyap” di telan bumi juga menjadi antitesa penegakkan keadilan di tanah air.
Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Hukum harus tegak berdiri walau ada iming-iming hukum bisa dibayar.
Dunia penegakkan hukum di tanah air itu ibaratnya seperti hutan belantara. Di mana seseorang demikian mudahnya untuk difitnah, diperkarakan, dilucuti kedaulatan politiknya bahkan hingga hilangnya nyawa.
Dunia penegakkan hukum di tanah air itu laksana kehidupan “liar” di hutan belantara di mana pilihan-pilihan tersebut direduksi sedemikian rupa.
Tinggal tersedia pilihan: dimangsa atau dimangsa! Jangan sampai dipaksa kalah dan divonis salah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.