Oleh: Wawan Ichwanuddin
PADA November 2021, Mahkamah Konstitusi kembali menolak permohonan untuk mengubah model pemilu lima kotak suara.
MK menyatakan bahwa opsi model yang dimohonkan oleh para pemohon sudah diakomodir dalam putusan sebelumnya dan perubahan keserentakan pemilu merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
Namun, hingga awal 2022, baik pemerintah maupun DPR belum mengagendakan perubahan apapun terkait pemilu.
Tulisan ini akan mengajukan argumen bahwa ada persoalan serius terkait rasionalitas pemilih yang berdampak pada tidak bekerjanya efek ekor jas dan (semakin) maraknya pertukaran klientelistik.
Hal ini seharusnya menjadi pertimbangan diperlukannya perubahan skema pemilu serentak.
Argumen pokok diterapkannya skema pemilu serentak adalah untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Penyelenggaraan pileg dan pilpres yang terpisah dianggap telah membatasi kebebasan pemilih karena koalisi pilpres yang dibentuk partai-partai dianggap membelokkan kehendak pemilih.
Dukungan partai pilihan pemilih di pilpres justru berbeda dengan keinginan pemilih, baik keinginan untuk memisahkan ataupun menyatukan dukungan dalam dua pemilu berbeda (Kemendagri, 2016).
Penguatan sistem pemerintahan presidensial dimaksud diharapkan tercapai dengan berlakunya efek ekor jas, di mana pemilih akan memilih partai yang mencalonkan pasangan calon pilihannya.
Penyatuan tiket suara ini dianggap akan menghasilkan pemerintahan dengan dukungan parlemen yang kuat sehingga bisa berjalan stabil dan efektif.
Namun, jika dilihat berdasarkan pengelompokan koalisi pada Pileg 2014 dan 2019, dukungan terhadap partai-partai pendukung pemenang pilpres secara agregat sebenarnya tidak banyak berbeda.
Pada Pileg 2019, perolehan suara PDI-P, Golkar, Nasdem, PKB, PPP, Hanura, PKPI, Perindo, dan PSI adalah 62,29 persen.
Pada Pileg 2014, perolehan suara partai-partai yang sama, minus Perindo dan PSI yang belum mengikuti pemilu, sekitar 63,7 persen.
Angkanya malah turun meski kecil, meskipun selalu lebih tinggi perolehan suara Jokowi di kedua pilpres, masing-masing 53,15 persen dan 55,32 persen.
Kecilnya perubahan ini menunjukkan bahwa efek ekor jas tidak cukup bekerja. Perolehan suara partai secara umum tidak ditentukan oleh faktor capres-cawapres yang diusung.
Faktor-faktor lain, terutama kerja para calegnya lebih penting. Dukungan mayoritas di parlemen kepada Jokowi di periode keduanya lebih disebabkan oleh keberhasilannya menggalang dukungan partai-partai sejak pencalonan.
Lalu, kondisi apa yang membuat kerja caleg lebih berpengaruh?
Sejak diterapkannya sistem perwakilan proporsional daftar terbuka dengan suara terbanyak pada 2009, kampanye pileg semakin berpusat pada caleg.