JAKARTA, KOMPAS.com - Ekonom senior Faisal Basri mengkritik pemerintah yang ia nilai tak memiliki rencana matang terkait proyek pembangunan ibu kota negara (IKN) baru.
Faisal menyoroti soal ketidakjelasan skema pembiayaan proyek tersebut. Awalnya, pemerintah tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun kemudian, pemerintah mengumumkan skema pembiayaan pembangunan IKN Nusantara hingga 2024 akan lebih banyak dibebankan pada APBN, yakni 53,3 persen.
Sisanya, dana didapat dari Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), swasta, dan BUMN sebesar 46,7 persen.
Bahkan, anggaran pemindahan IKN pada 2022 akan menggunakan dana Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Baca juga: Faisal Basri Singgung Pembiayaan Proyek IKN: Dulu Bilangnya Tak Pakai APBN, Sekarang?
"Jadi, bukan hanya meleset. Ini menandakan bahwa semuanya tidak dikerjakan dengan baik. Berarti informasi yang didapat Pak Jokowi itu ngawur," ujar Faisal, dikutip Kompas TV, Sabtu (22/1/2022).
Menurut Faisal, tak ada jalan selain menunda proyek pembangunan. Apalagi, pemindahan ibu kota ini dinilai tanpa partisipasi publik yang memadai.
"Harusnya kan oke kita tunda, kita persiapkan dengan baik dulu, kita bikin rencana induk yang bermartabat," ujar Faisal.
"Ingat lho, logikanya ini harus referendum, ditanya ke rakyat, rakyat mau pindah ibu kota atau tidak?" lanjutnya.
Pakar ekonomi dari Universitas Indonesia ini mengingatkan, bukan kali ini saja Presiden Joko Widodo berjanji tak akan membebani APBN dengan proyek pembangunan.
Semestinya, preseden buruk itu tak boleh terjadi lagi, apalagi untuk proyek sebesar IKN.
"Jadi pemimpin itu dipercaya karena ucapannya. (Proyek) kereta cepat juga seperti itu. Tol Sumatera juga begitu," kata Faisal.
Selain itu, pemerintah juga mengenalkan konsep otorita untuk IKN, konsep yang tidak dikenal dalam UUD 1945.
"Lah mau bangun ibu kota tahun ini juga dananya enggak jelas, baru akan dicari. Ini model pembangunan apa? Bukan metode Sangkuriang kan, bukan simsalabim. Ini mengurus negara," ungkap Faisal.
Faisal mengatakan, semua hal itu kian menegaskan bahwa proyek IKN bermasalah dan tidak berdasarkan tata kelola yang baik.
Menurut Faisal, proyek IKN akan menjadi skandal jika tetap dilanjutkan.
"Istilahnya, Pak Jokowi sedang membangun lubang untuk kuburnya sendiri. Dia sudah menggali ke kubur untuk Tol Sumatera, kemudian Kereta Cepat. Merasa kurang dalam juga, maka digali semakin dalam," ungkap Faisal.
"Artinya Pak Jokowi itu membuka peluang untuk skandal yang tidak satu orang pun bisa menahannya lagi. Skandal besar dan Pak Jokowi harus menanggung akibatnya," kata dia.
Baca juga: Jokowi Ralat Janjinya, Ongkos Ibu Kota Baru Kini Boleh Bebani APBN
Sebelumnya, kritik juga datang dari koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 17 LBH kantor, Yayasan Srikandi Lestari, Sajogyo institute, dan #BersihkanIndonesia.
Menurut Koalisi, pemindahan ibu kota ini tak lebih dari proyek oligarki karena tampak upaya mendekatkan IKN dengan pusat bisnis beberapa korporasi di sana, yang wilayah konsesinya masuk dalam kawasan IKN.
Koalisi menilai, ada upaya "menghapus dosa" korporasi-korporasi tersebut.
"Menurut catatan JATAM Kaltim, terdapat 94 lubang tambang yang berada di kawasan IKN di mana tanggung jawab untuk melakukan reklamasi dan pasca-tambang seharusnya dilakukan oleh korporasi, diambil alih dan menjadi tanggung jawab negara," diktutip dari siaran pers koalisi, Kamis (20/1/2022).
Baca juga: Megaproyek IKN, 20.000 Masyarakat Adat Tersingkir dan Dugaan Hapus Dosa Korporasi
Koalisi menilai, hal itu makin memperjelas proses pemindahan ibu kota yang serba cepat dan tidak transparan.
DPR bahkan mengesahkan Rancangan Undang-undang IKN menjadi undang-undang dalam 43 hari.
Kemudian, saat mengumumkan soal rencana pemindahan ibu kota, Presiden Jokowi mengaku akan menunggu kajian untuk menentukan wilayah IKN.
"Namun, hingga saat ini, kajian yang dimaksud oleh Presiden dan diklaim menjadi dasar penetapan wilayah Kalimantan Timur sebagai ibu kota tidak diketahui keberadaannya," tulis koalisi.
"Dengan kata lain bahwa penetapan Kalimantan Timur sebagai ibu kota bukan berdasarkan atas sebuah kajian yang mendalam," kata mereka.
Baca juga: AMAN: Kemungkinan Tukar Guling Lahan Konsesi untuk IKN Akan Ancam Masyarakat Adat di Wilayah Lain
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menengarai ada kemungkinan barter konsesi milik korporasi yang lahannya akan terpakai proyek IKN nanti.
Sebagai informasi, di kawasan IKN terdapat 162 konsesi tambang, perkebunan sawit, kehutanan, hingga PLTU batu bara dengan total luas lebih dari 180.000 hektar, berdasarkan investigasi JATAM Nasional, JATAM Kalimantan Timur, Walhi Nasional, Walhi Kalimantan Timur, Trend Asia, Pokja 30, Pokja Pesisir dan Nelayan, serta Forest Watch Indonesia.
"Tidak mungkin (korporasi yang telanjur) investasi di sana menyerahkan cuma-cuma lahan konsesinya untuk IKN," kata Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM Pengurus Besar AMAN, Muhammad Arman, Kamis.
Proyek IKN juga disebut bakal menggusur sedikitnya 20.000 masyarakat adat, dari 19 kelompok adat di Penajam Paser Utara dan 2 kelompok di Kutai Kartanegara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.