JAKARTA, KOMPAS.com - Tiga orang ahli menyatakan bahwa penggunaan kanabis/ganja untuk tujuan pengobatan di Indonesia belum diperlukan karena masih tersedia obat-obatan jenis lain sebagai penggantinya.
Pernyataan ini diungkapkan dalam sidang di Mahkamah Konstitusi, dalam rangka permohonan uji materiil terhadap Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, terkait penggunaan narkotika golongan 1 dalam hal ini ganja untuk kepentingan kesehatan, Kamis (20/1/2022).
Sidang tersebut beragendakan "mendengarkan keterangan ahli Presiden".
"Sudah tersedia banyak pilihan obat dalam formularium nasional, maupun dalam daftar obat esensial nasional untuk indikasi yang disebutkan untuk (diobati dengan) kanabis," ujar Rianto Setiabudy, pakar dari Universitas Indonesia.
"Misalnya, untuk epilepsi, formularium nasional punya 12 obat--aman, efektif, dan sudah terbukti. Untuk antinyeri kuat, kita punya 9 pilihan di situ, lebih dari cukup. Untuk antimual, ada 6," lanjutnya memberi contoh.
Baca juga: Selain Kecanduan, Pengguna Ganja Lebih Berisiko Alami Stroke
Rianto menilai, obat-obatan tersebut tidak berpotensi menimbulkan ketergantungan sebagaimana ganja yang ia anggap dapat menciptakan "masalah sosial yang besar" karena efek ketergantungan yang ditimbulkan.
Aris Catur Bintoro, dokter spesialis saraf, menyebutkan bahwa pengobatan epilepsi bertumpu pada diagnosis, obat, dan peningkatan beberapa faktor lain yang dapat digunakan buat mengatasi kejang
"Persediaan obat antiepilepsi di Indonesia telah merata, tata laksana (penanganan) epilepsi di Indonesia dapat dikatakan sudah baik," ujar anggota Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) itu.
Baca juga: 5 Fakta Ganja dari Kandungan Zat Adiktif, Efek, hingga Risiko Kecanduan
Ia menambahkan, dukungan penelitian juga masih kurang untuk menyatakan bahwa ganja dapat dipakai sebagai obat antiepilepsi.
"Guidelines tata laksana yang menyatakan kanabis utk epilepsi tidak banyak, serta pilihan terapi yang lain masih bisa dimanfaatkan," ujar Aris.
Senada, Uni Gamayani, Ketua Kelompok Studi Neuropediatri juga mengungkapkan soal ketersediaan obat yang masih memadai bagi anak mengidap cerebral palsy (lumpuh otak).
"Penelitian yang ada masih belum cukup untuk menilai efektivitas dan kemaanan obat-obat (berbahan ganja) ini. Pemberian obat cannabidiol (CBD) sebagai terapi pada spastisitas (kejang otot) pasien celebral palsy belum diperlukan mengingat hasil penelitian yang belum konsisten," ungkap Uni.
"Saya kira dengan obat-obatan yang saat ini ada di Indonesia, dengan fasilitas yang ada di Indonesia, saya tidak memerlukan obat-obat lain lagi," lanjutnya.
Baca juga: Kini Dilarang, Dulu Ganja Pernah jadi Obat Anestesi sampai Simbol Budaya Hippie
Mahkamah Konstitusi akan menggelar sidang lanjutan perkara ini pada 16 Februari 2022, dengan agenda kembali mendengarkan 3 orang ahli dari pihak pemerintah.
Sebelumnya, permohonan uji materiil ini dilayangkan oleh Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justrice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.