JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu angkat bicara soal proyek penyewaan satelit yang dilakukan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) ketika dirinya menjabat.
Hal ini merespons Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang baru-baru ini mengungkap adanya proyek pengelolaan satelit di Kemenhan yang diduga merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.
Peristiwa itu terjadi tahun 2015, ketika Kemenhan di bawah kepemimpinan Ryamizard menyewa satelit, tetapi kemudian tak memenuhi kewajiban bayar uang sewa.
Kasus ini kini tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan, perkara ini telah diselidiki sejak beberapa tahun lalu dan saat ini telah naik ke tahap penyidikan.
Baca juga: Jaksa Agung Muda Militer Dilibatkan dalam Penyidikan Kasus Satelit Kemenhan
Merespons hal ini, apa kata Ryamizard?
Perkara sewa satelit ini bermula saat Satelit Garuda-1 milik Indonesia keluar dari orbit pada 19 Januari 2015. Hal ini menyebabkan terjadinya kekosongan pada Orbit 123 derajat Bujur Timur (BT).
Menurut Ryamizard, situasi tersebut bersifat darurat. Sebab, mengacu aturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan satelit wajib mengisi kembali slot tersebut dengan satelit lain dalam waktu 3 tahun.
Jika tak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur dan diberikan ke negara lain.
Agar tetap dapat memanfaatkan slot orbit itu, berbagai pertemuan pun dilakukan antar-instansi pemerintah.
Baca juga: Kejagung Periksa 3 Saksi Kasus Proyek Penyewaan Satelit di Kemenhan
Salah satunya, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara kala itu meminta Ryamizard mengambil alih pengelolaan Orbit 123 derajat BT agar dapat digunakan untuk Satelit Komunikasi Pertahanan.
Terakhir, pada awal Desember 2015, Presiden Joko Widodo meminta agar Orbit 123 BT dikelola oleh pemerintah Indonesia.
Oleh karenanya, Ryamizard menegaskan, penyelamatan slot Orbit 123 BT itu merupakan diskresi atau perintah langsung dari presiden.
"Saya ini prajurit, mendapat perintah selamatkan (slot) orbit 123 BT, saya lakukan dan berhasil. Kalau itu tidak saya lakukan, orbit itu bisa diambil pihak lain dan membahayakan kedaulatan negara," katanya dikutip dari pemberitaan Kompas.id, Senin (17/1/2022).
Atas situasi mendesak itu, Kemenhan akhirnya memutuskan untuk menyewa satelit Artermis milik Avanti Communication Limited.
Berdasar arsip Kompas.id 15 Mei 2018, sewa satelit Artemis bernilai 30 juta dollar AS.
Ryamizard pun mengakui bahwa kala itu belum ada anggaran untuk menyewa satelit. Namun, satelit tetap disewa guna menyelamatkan slot orbit sebagaimana perintah presiden.
”Memang belum ada anggaran. Namun, kami harus segera mengisi slot itu untuk menunjukkan komitmen (mengisi slot orbit),” katanya.
Baca juga: Ryamizard Sebut Ada Unsur Kedaruratan Sewa Satelit Slot Orbit 123 Bujur Timur
Pemerintah tak punya banyak waktu karena draf kontrak satelit harus segera ditandatangani dan diajukan ke ITU.
Akhirnya, diteken kontrak penyewaan satelit Artemis pada 6 Desember 2015, meski persetujuan penggunaan slot orbit dari Kemenkominfo baru diterbitkan 29 Januari 2016.
Untuk mengisi slot orbit itu, anggaran Kemenhan bertambah Rp 1,327 triliun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2016 untuk pengadaan satelit.
Ryamizard pun menekankan, perintah Presiden Jokowi mengenai penyelamatan slot Orbit 123 BT itu merupakan sebuah diskresi demi kepentingan nasional.
Meski secara normatif ada beberapa hal yang tidak sesuai, kata dia, langkah itu harus dilakukan.
”Pertama karena ada diskresi dan kedua, ada ancaman kedaulatan kalau itu tidak dilakukan. Nah, itu tupoksi Kemenhan,” kata Ryamizard.
Baca juga: Mahfud Sebut Ada Pihak yang Berupaya Menghambat Kasus Satelit di Kemenhan Dibuka Jelas
Usai kontrak sewa satelit diteken, Ryamizard mengaku memerintahkan jajarannya agar memproses kontrak sewa sesuai aturan yang berlaku.
Dalam pelaksanaannya, pembayaran sewa satelit dilakukan Kementerian Keuangan dengan menggunakan kas negara.
”Jangankan pegang uangnya. Lihat saja enggak pernah karena uangnya langsung dari Kementerian Keuangan ke Avanti,” kata Ryamizard.
Menurut Ryamizard, semula Indonesia masih membayar tagihan sewa satelit kepada Avanti. Pada akhir Agustus 2016, pemerintah membayar sewa satelit itu sekitar 3,75 juta dollar AS.
Namun, selanjutnya tidak ada lagi pembayaran dari kas negara untuk sewa satelit tersebut.
Hingga 30 Juni 2017, total tagihan yang belum dibayar Kemenhan mencapai 16,8 juta dollar AS.
Baca juga: Naik Tahap Penyidikan, Kejagung Telah Periksa 11 Saksi Terkait Kasus Proyek Satelit Kemenhan
Akibatnya, Avanti mengajukan gugatan arbitrase ke Pengadilan Arbitrase Internasional di Inggris. Pengadilan pun menghukum pemerintah RI membayar Rp 515 miliar kepada Avanti.
Tak hanya soal sewa, masalah juga muncul pada pengadaan satelit untuk mengisi slot orbit yang sama.
Salah satu perusahaan yang terlibat dalam kontrak pengadaan satelit itu, Navayo International AG, menuntut pemerintah RI di Pengadilan Arbitrase Internasional Singapura.
Pengadilan melalui keputusannya 22 April 2021 pun menghukum pemerintah Indonesia membayar tagihan pengadaan satelit kepada Navayo sebesar 16 juta dollar AS.
Terkait persoalan ini, Menko Polhukam Mahfud MD meminta semua pihak menunggu proses hukum yang sedang berjalan.
Mahfud mengatakan, pemerintah menempuh langkah hukum terkait proyek tersebut setelah melalui pertimbangan mendalam dan komprehensif.
"Sampai akhirnya dilakukan Audit Tujuan Tertentu (ATT), bukan hanya audit reguler oleh BPKP," kata Mahfud dalam keterangan tertulis, Senin (17/1/2022).
Baca juga: Jokowi Diusulkan Jadi Cawapres Prabowo, Gerindra: Kita Nikmati Dinamika Jelang 2024
Dari dua audit itu, kata Mahfud, hasilnya ditemukan terjadi dugaan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang merugikan keuangan negara dan berpotensi akan terus merugikan keuangan negara.
Contohnya, pemerintah Indonesia telah membayar gugatan Avanti sebesar Rp 515 miliar berdasarkan putusan Arbitrase di Inggris pada 2019.
Selain itu, Mahfud mengungkapkan, pemerintah Indonesia pada 2021 juga menerima tagihan lagi sebesar 21 juta dolar AS berdasarkan putusan Arbitrase Singapura atas gugatan Navayo.
Padahal, berdasar hasil audit yang dilakukan BPKP, barang yang diterima dari Navayo sebagian besar diduga selundupan karena tidak ditemukan dokumen pemberitahuan impor barang di Bea Cukai.
"Sedangkan barang yang dilengkapi dengan dokumen hanya bernilai sekitar Rp 1,9 miliar, atau sekitar 132.000 dolar AS," kata Mahfud
Oleh karenanya, Mahfud kembali meminta seluruh pihak bersabar dan mengikuti proses hukum yang sedang berlangsung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.