Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kementerian PPPA Sebut Tuntutan Hukuman Mati Herry Wirawan Sesuai UU Perlindungan Anak

Kompas.com - 14/01/2022, 18:42 WIB
Mutia Fauzia,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Deputi bidang Perlindungan Khusus Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Nahar mengatakan, tuntutan hukuman mati yang diberikan jaksa penuntut umum (JPU) terhadap Herry Wirawan sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.

Herry Wirawan adalah terdakwa pemerkosa 13 santriwati di Bandung, Jawa Barat.

"Jaksa sudah melakukan tuntutan sesuai aturan yang ada. Di UU Perlindungan Anak dimungkinkan bahwa ketika seorang pelaku melakukan kejahatan, pelapor lebih dari satu, dimungkinkan beberapa pilihan hukuman yang dapat diberikan, salah satunya pidana mati," ujar Nahar dalam diskusi virtual, Jumat (14/1/2022).

Sebelumnya, Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) menyatakan penolakan terhadap hukuman mati untuk semua tindakan kejahatan, termasuk kekerasan seksual yang dilakukan Herry Wirawan.

Baca juga: Tentang Hukuman Mati, Komnas HAM Dinilai Berpotensi Lawan Hukum Negara

Alasan yang mendasari penolakan ini adalah prinsip hak asasi manusia, salah satunya hak hidup.

"Pada prinsipnya Komnas HAM menentang hukuman mati untuk semua tindakan kejahatan atau semua tindakan pidana, termasuk juga pidana kekerasan seksual, seperti yang dilakukan oleh Herry Wirawan," kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, dikutip dari Kompas.tv, Rabu (12/1/2022).

Adapun Nahar menjelaskan, beleid yang mengizinkan hukuman pidana mati tertuang di dalam Pasal 81 ayat (5) UU Perlindungan Anak.

"Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari satu orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau kehilangan fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun," begitu bungi beleid tersebut.

Nahar mengungkapkan, pihaknya memahami ketidaksepakatan Komnas HAM mengenai hukuman mati.

Baca juga: Wamenag Dukung Tuntutan Hukuman Mati dan Kebiri Herry Wirawan

Namun ia kembali menegaskan, dampak yang ditimbulkan atas kejahatan yang dilakukan oleh Herry Wirawan berdampak besar, tak hanya terhadap korban, namun juga keluarga korban.

Ia pun berharap, putusan persidangan nantinya bisa benar-benar memberikan efek jera kepada pelaku dan memberi keadilan bagi korban dan keluarganya.

"Dari sisi dampak lain, kasus ini berdampak ke anak-anak dan keluarga, beberapa anak dan keluarga, ini kejadiannya sudah satu tahun, tetapi ketika diungkap lagi persoalannya muncul yekanan psikologis yang tidak bisa ditutupi. Ini menjadi situasi di mana dampak ini bukan dampak biasa tetapi sangat serius, dan tentu proses hukumnya harus ditangani secara serius," kata Nahar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Unjuk Rasa di Patung Kuda Diwarnai Lempar Batu, TKN Minta Pendukung Patuhi Imbauan Prabowo

Nasional
Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Pemerintahan Baru Indonesia dan Harapan Perdamaian Rusia-Ukraina

Nasional
Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Prabowo Terima Kunjungan Eks PM Inggris Tony Blair di Kemenhan, Ini yang Dibahas

Nasional
KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

KPK Sebut Surat Sakit Gus Muhdlor Ganjil: Agak Lain Suratnya, Sembuhnya Kapan Kita Enggak Tahu

Nasional
Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Panglima AL Malaysia Datang ke Indonesia, Akan Ikut Memperingati 3 Tahun KRI Nanggala

Nasional
Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Beralasan Sakit, Gus Muhdlor Tak Penuhi Panggilan KPK

Nasional
Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Minta MK Urai Persoalan pada Pilpres 2024, Sukidi: Seperti Disuarakan Megawati

Nasional
PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

PPATK Bakal Tindaklanjuti Informasi Jokowi soal Indikasi Pencucian Uang lewat Aset Kripto Rp 139 Triliun

Nasional
Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Latihan Operasi Laut Gabungan 2024, Koarmada I Siapkan KRI Halasan untuk Tembak Rudal Exocet

Nasional
Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Yusril: Tak Ada Bukti Kuat Kubu Prabowo-Gibran Curang di Pilpres 2024

Nasional
Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Hakim MK Diminta Selamatkan Konstitusi lewat Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com