JAKARTA, KOMPAS.com – Kapolri Jenderal Listyo Sigit diminta memberi perhatian khusus pada komunitas Muslim Ahmadiyah di Desa Balai Harapan, Sintang, Kalimantan Barat.
Mereka saat ini sedang terancam oleh kemungkinan tindakan diskriminatif dan kekerasan, menyusul Masjid Miftahul Huda milik mereka yang dipermasalahkan kelompok intoleran dan Pemerintah Kabupaten Sintang.
“Kami minta Kapolri memerintahkan kepolisian daerah di Pontianak, juga polres dan jajaran hirarkinya memberi perlindungna untuk menjaga kondusivitas di Kabupaten Sintang terkait hal ini,” kata anggota tim advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arifin Zainal, dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (14/1/2022).
Baca juga: Pemkab Sintang Dikecam karena Ancam Bongkar Masjid Jemaah Ahmadiyah
Setidaknya ada dua ancaman keamanan bagi komunitas Muslim Ahmadiyah Sintang dalam waktu dekat. Pertama, Pemkab Sintang mengancam akan membongkar Masjid Miftahul Huda jika mereka tak membongkarnya sendiri hingga 21 Januari 2022.
Ancaman itu termuat dalam surat peringatan ketiga (SP 3) yang dilayangkan Pemkab Sintang pada 7 Januari 2022.
Kedua, Masjid Miftahul Huda pernah dirusak oleh massa yang mengatasnamakan Aliansi Umat Islam pada September 2021. Sebanyak 21 terdakwa dari kasus itu divonis penjara 4 bulan 15 hari dipotong masa tahanan, yang berarti mereka akan bebas pada 22 Januari 2022, sehari usai tenggat SP 3.
“Kita bisa melihat bahwa seperti ada yang sistematis, di mana tenggat waktu dilakukannya pembongkaran adalah 21 Januari 2022, hampir bertepatan dengan selesainya hukuman para pelaku perusakan. Kita bisa menyimpulkan, akan ada ekskalasi besar terkait peristiwa itu,” kata anggota Divisi Hukum KontraS, Adelita Kasih, dalam kesempatan yang sama. Jangan kalah dengan kubu intoleran atas nama “stabilitas”.
Adelita mendesak kepolisian dapat hadir dan memberi jaminan keamanan penuh bagi komunitas Muslim Ahmadiyah di Sintang, agar peristiwa kekerasan seperti pada September 2021 tak terulang.
Kepolisian diharapkan tidak tinggal diam atau membiarkan kelompok intoleran melakukan hal sesukanya. Kapolri Jenderal Listyo Sigit, lanjut Adelita, mesti mampu menindak tegas aparat yang tidak mencegah atau bahkan turut serta dalam tindakan diskriminatif terhadap komunitas Muslim Ahmadiyah.
“Jangan juga misalnya menggunakan perspesi ‘stabilitas’. Ini yang sering terjadi di banyak kasus. Atas nama stabilitas, kemudian pilihan tindakan kepolisian seringkali memviktimisasi, dengan alasan kelompok yang melakukan ancaman adalah mayoritas,” ungkap Direktur Imparsial, Gufron Mabruri.
“Dalam konteks ini saya kira penting polisi belajar dari pengalaman, jangan sampai mengulangi kesalahan yang sama. Tidak hanya di Sintang, tapi juga kasus-kasus di daerah lain, bahwa untuk menjamin rasa aman, dibutuhkan tindakan yang tegas, tidak diskriminatif. Polisi jangan kalah dari kelompok intoleran. Hukum harus ditegakkan secara tegas tanpa pandang bulu,” ujar Gufron.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.