JAKARTA, KOMPAS.com - Permasalahan proyek satelit di lingkungan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang terjadi pada periode 2015 disinggung Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Mahfud membeberkan proyek yang membikin negara menelan kerugian ratusan miliar rupiah bersama Jaksa Agung ST Burhanuddin di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (13/1/2022).
Dalam kasus ini, Indonesia digugat di pengadilan arbitrase internasional sehingga harus membayarkan uang sewa dan biaya arbitrase dengan nilai fantastis.
Baca juga: Mahfud Beberkan Proyek Satelit Kemenhan yang Rugikan Negara Ratusan Miliar Rupiah
Pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) telah lama melakukan penyelidikan terhadap kasus ini.
Burhanuddin menyebut, kasus ini dalam waktu dekat akan segera masuk ke tingkat penyidikan.
"Kami sudah melakukan penelitian dan pendalaman atas kasus ini, dan sekarang sudah hampir mengerucut. Insya Allah dalam waktu dekat perkara ini naik ke penyidikan," kata Burhanuddin, Kamis.
Dari hasil penyelidikan ini, Burhanuddin mengatakan, telah memiliki cukup bukti untuk masuk ke tingkat penyidikan.
Baca juga: Mengingat Lagi Duduk Perkara Proyek Satelit Kemenhan yang Rugikan Negara Ratusan Miliar...
Meski demikian, Burhanuddin belum bisa membeberkan pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam permasalahan ini.
"Ini masih masih pendalaman, artinya kami belum menentukan, penyidikan baru akan ditentukan sehari dua hari ini ya," ungkap Burhanuddin.
"Pasti kerugian-kerugian sudah dilakukan pendalaman tetapi nanti finalnya ada di BPK dan BPKP," imbuh dia.
Kasus permasalahan pengelolaan satelit ini bermula ketika Satelit Garuda-1 keluar orbit dari slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) yang menyebabkan terjadinya kekosongan pengelolaan oleh Indonesia pada 19 Januari 2015.
Berdasarkan aturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali slot orbit.
Apabila tak dipenuhi, hak pengelolaan slot orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
Ketika slot orbit 123 mengalami kekosongan pengelolaan, Kemenhan kemudian mengajukan permintaan untuk mendapatkan hak pengelolaan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo).
Baca juga: Jaksa Agung: Proyek Satelit Kemenhan Dalam Waktu Dekat Masuk Penyidikan
Permintaan ini berkaitan dengan rencana Kemenhan yang akan menjalankan proyek satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan).
Dalam kenyataannya, kemenkominfo ternyata tak langsung menanggapi permintaan tersebut.
Namun, Kemenhan tiba-tiba bergerak sendiri dengan membuat kontrak sewa bersama Satelit Artemis milik Avanti Communication Limited pada 6 Desember 2015.
Padahal persetujuan penggunaan slot orbit 123 derajat Bujur Timur dari Kemkominfo baru keluar pada 29 Januari 2016.
Baca juga: Cerita Mahfud MD Ada Dirjen Mundur karena Dimintai Setoran Rp 40 Miliar oleh Menteri
Saat menekan kontrak bersama Avanti, belakangan terungkap bahwa Kemenhan ketika itu belum memiliki anggaran untuk keperluan proyek satelit militer.
Anggaran untuk keperluan proyek ini baru tersedia pada 2016, namun Kemenhan melakukan self blocking.
Tak berhenti sampai di situ, Kemenhan kemudian juga tetap menekan kontrak bersama Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat pada periode 2015 hingga 2016, yang anggarannya pada 2015 juga belum tersedia.
Setelah beberapa tahun pasca-penandatanganan kontrak, Avanti menggugat Kemenhan di London Court of Internasional Arbitration. Gugatan ini karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani.
Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 Miliar.
Selain itu, Navayo yang sebelumnya juga telah menandatangani kontrak dengan Kemenhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen certificate of performance, namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemenhan dalam kurun waktu 2016-2017.
Navayo kemudian mengajukan tagihan sebesar USD 16 juta kepada Kemenhan.
Namun, saat itu pemerintah menolak untuk membayar sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura.
Baca juga: Masa Karantina Pelaku Perjalanan Luar Negeri Jadi 7 Hari
Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura pada 22 Mei 2021, Kemenhan diputus harus membayar USD 20.901.209 atau sekitar Rp 314 miliar kepada Navayo.
Mahfud menyatakan, selain keharusan membayar kepada Navayo, Kemenhan juga berpotensi ditagih pembayaran oleh Airbus, Detente, Hogan Lovells dan Telesat yang sebelumnya telah menjalin kontrak dengan Kemenhan.
"Sehingga negara bisa mengalami kerugian yang lebih besar lagi," kata Mahfud.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.