Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Tak Ada Surat, Lisan Begitu Saja dari BRIN, Tanggal 1 Harus Hengkang Semuanya"

Kompas.com - 06/01/2022, 08:43 WIB
Vitorio Mantalean,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Hari itu, Kamis, 30 Desember 2021, malam baru berganti pagi.

Sedikitnya 40 orang dalam Kapal Riset (KR) Baruna Jaya akhirnya kembali menghirup udara Ibu Kota.

Kapal yang mereka tumpangi baru saja sandar di Pelabuhan Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara.

“Kami berangkat sejak satu bulan lalu itu dari Selat Sunda, Samudra Hindia, lalu Malang, Denpasar, habis itu ke Sumba yang waktu itu gempa 7,5 skala Richter. Terakhir itu kami (berlayar) dari Sumba,” ujar Andika, salah satu teknisi ahli Balai Teknologi Survei Kelautan (Teksurla) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Rabu (5/1/2022).

Baca juga: Peleburan Eijkman ke BRIN yang Buat Peneliti Muda Mencari Rumah Baru

Di tempat-tempat tersebut, Andika dkk melakukan pemetaan sekaligus pemasangan alat-alat deteksi dini tsunami dan gempa.

Pekerjaan ini merupakan bagian dari proyek InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System – Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia) hasil pengembangan BPPT.

Proyek ini sangat krusial dalam mempercepat informasi peringatan dini potensi tsunami, yang menggunakan sensor di dasar laut guna melihat perbedaan-perbedaan tekanan air.

Data dari sensor itu lalu secara aktif dikirim ke buoy (pelampung) di permukaan laut melalui underwater acoustic modem.

Baca juga: AIPI: Mustahil Muncul Riset Bermutu bila Peneliti Diperlakukan Jadi Pegawai Kantor

Pelampung tersebut kemudian mentransmisikan data itu ke InaTOC (Indonesia Tsunami Observation Center – Pusat Pemantauan Tsunami Indonesia) di Jakarta.

“(Pemasangannya) sudah selesai semua. Sudah ada data gempa yang terkirim ke InaTOC di Thamrin itu. Jadi, kami pasang sudah langsung terhubung,” ujar Andika.

Usai merampungkan pekerjaan yang bisa menyelamatkan puluhan, ratusan, bahkan ribuan nyawa itu, Andika dan kolega hanya dapat mengambil napas panjang sesaat.

Andika bercerita, hari itu juga, seseorang yang mengaku perwakilan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) datang ke kapal.

KR Baruna Jaya I milik BPPT yang juga dikerahkan dalam pencarian pesawat Lion Air JT 610 di perairan Tanjung Karawang. KR Baruna Jaya I milik BPPT yang juga dikerahkan dalam pencarian pesawat Lion Air JT 610 di perairan Tanjung Karawang.

Tidak ada pertemuan resmi atau pengumpulan semua ilmuwan dan awak kapal.

Yang ia tahu, setelah perwakilan BRIN itu datang, mereka semua dipaksa menelan pil pahit menjelang tahun baru.

“Tidak ada surat juga, jadi lisan begitu saja dari pihak BRIN, cuma ngomong bahwa tanggal 1 (Januari 2022, kami) harus hengkang semuanya. Ya sudah, begitu saja,” ucap Andika.

Terusir

BRIN dibentuk Presiden RI Joko Widodo pada 2019, meski sejak awal pembentukannya dikritik karena rentan mengganggu independensi ilmuwan dan membuka pintu politisasi.

Kekhawatiran ini beralasan karena terbukti bahwa bos Jokowi di PDI-P, Megawati Soekarnoputri, didaulat sebagai Ketua Dewan Pengarah BRIN.

Baca juga: Ditendang BRIN Usai Belasan Tahun Mengabdi, Sejumlah Ilmuwan BPPT Mengadu ke Komnas HAM

PDI-P bahkan menyebut hal itu bertujuan agar riset BRIN “sesuai Pancasila”.

BRIN diciptakan bukan sebagai koordinator lembaga-lembaga penelitian yang ada saat ini, melainkan badan tunggal yang menaungi seluruh kegiatan penelitian di Tanah Air.

Tak ayal, lembaga-lembaga penelitian yang sejauh ini sudah berjalan dengan baik dipaksa melebur ke BRIN secara struktural.

Hingga sekarang, sedikitnya sudah 39 lembaga penelitian yang dipaksa melebur ke BRIN, termasuk di antaranya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), serta Lembaga Biologi Molekuler Eijkman dan BPPT sendiri.

Baca juga: Mengenal BRIN, Badan Riset yang Sempat Tuai Kontroversi karena Libatkan Megawati

Peleburan ini menimbulkan masalah. Ratusan ilmuwan kehilangan pekerjaan karena terhalang status non-PNS.

Andika yang sudah 7 tahun bekerja sebagai Pegawai Pemerintah non-Pegawai Negeri (PPNPN) BPPT, misalnya, ditendang karena alasan tersebut.

Sementara itu, Kapten Ishak Ismail, nakhoda KR Baruna Jaya yang ditumpangi Andika dalam proyek InaTEWS, malah sudah 19 tahun mengabdi.

Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Muhammad Syaugi (kedua kiri) menunjukkan bagian dari kotak hitam (black box) pesawat Lion Air bernomor registrasi PK-LQP dengan nomor penerbangan  JT 610 yang telah ditemukan oleh tim SAR gabungan di KR Baruna Jaya I, di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, Kamis (1/11/2018). Bagian dari kotak hitam tersebut diserahkan ke pihak KNKT untuk dilakukan investigasi lebih lanjut. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Muhammad Syaugi (kedua kiri) menunjukkan bagian dari kotak hitam (black box) pesawat Lion Air bernomor registrasi PK-LQP dengan nomor penerbangan JT 610 yang telah ditemukan oleh tim SAR gabungan di KR Baruna Jaya I, di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, Kamis (1/11/2018). Bagian dari kotak hitam tersebut diserahkan ke pihak KNKT untuk dilakukan investigasi lebih lanjut. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.

Bahkan, pada 2015, Ishak pernah dianugerahkan oleh Jokowi Tanda Kehormatan Satyalancana Wira Karya.

“Sebagai nakhoda KR Baruna Jaya, berhasil melakukan pencarian lokasi jatuhnya pesawat Air Asia QZ 8501 di perairan Selat Karimata Laut Jawa dan aktif melakukan kooridinasi dan kerja sama antara crew kapal dengan Balai Teknologi Survei Kelautan, sehingga semua crew pulang dengan selamat,” tulis Jokowi dalam Keppres Nomor 77/TK/Tahun 2015 yang ia teken.

Dalam operasi tersebut, peran Ishak tak bisa dikesampingkan dalam penemuan kotak hitam Air Asia QZ 8501.

Baca juga: Canggihnya Baruna Jaya, Kapal yang Temukan Sinyal Kotak Hitam JT 610

Namun, lantaran berstatus PPNPN, nama Ishak termasuk dalam daftar ratusan ilmuwan BPPT yang terpaksa angkat kaki karena BRIN.

Andika bercerita, seisi kapal hanya dapat melongo mendengar titah perwakilan BRIN itu.

Mereka diperintahkan mengosongkan KR Baruna Jaya, kapal yang bukan sekadar alat transportasi bagi mereka, tetapi juga telah menjelma kantor atau boleh jadi rumah kedua.

Apa boleh buat, palu telah diketuk.

“Otomatis kami kan harus meninggalkan kapal itu dalam keadaan bersih, tanpa kendala apa pun,” ucapnya.

Baca juga: Kapal Baruna Jaya I Berangkat Cari AirAsia atas Perintah Langsung Presiden Jokowi

Luntang-lantung

Perbincangan Kompas.com dengan Andika terjadi di kantor Komnas HAM, kemarin siang.

Siang itu, Ishak juga hadir. Ia turut duduk-duduk di trotoar bersama awak media dan menikmati segelas kopi dari pedagang starling di Jalan Latuharhary.

Baik Ishak maupun Andika, keduanya sama-sama mengenakan pakaian bersemat logo kebanggaan mereka. Logo KR Baruna Jaya. Logo Balai Teksurla. Logo BPPT.

Baca juga: Banyak Peneliti Eijkman yang Diberhentikan, Apa Kabar Kelanjutan Vaksin Merah Putih?

Sayang, Ishak tak berkenan diwawancarai mengenai 19 tahun pengabdiannya di kapal yang dipaksa kandas bukan di laut, melainkan di darat.

“Mau lanjut kuliah,” ucapnya singkat, tanpa menjelaskan kuliah apa yang tengah ia geluti.

Ishak dan Andika datang sebagai perwakilan Paguyuban PPNPN BPPT. Mereka hendak mengadukan nasib mereka ke Komnas HAM.

Paguyuban itu menaungi ratusan ilmuwan BPPT bernasib sama, dan diperkirakan masih ada ratusan lain yang masih menanti pendataan lebih lengkap.

Mereka tidak meminta pesangon. Mereka hanya meminta dipekerjakan kembali.

Pasalnya, usia mereka sudah dihabiskan untuk mengabdi di BPPT. Tak lagi muda, sulit bagi mereka mencari lapangan kerja, terlebih di masa pandemi Covid-19.

Baca juga: Eijkman dan Kisah Heroik Achmad Mochtar yang Dieksekusi Jepang...

Namun, toh Andika dkk bukan memikirkan nasib mereka saja, melainkan juga kelangsungan BPPT kelak, lembaga yang mereka cintai itu.

“Pemeliharaan alat pendeteksi tsunami itu setiap delapan bulan sekali. Jika (BPPT) dibubarkan, siapa yang mau mengurusnya? Alat itu dipasang di kedalaman ribuan meter. Di Bali saja 4.000 meter. Di Selat Sunda 2.700 meter. Di Samudra Hindia itu 3.000 meter. Peralatan itu beratnya 3 ton,” jelasnya.

Ini bukan hanya kerugian bagi ilmuwan seperti Andika atau Ishak. Ini kerugian negara yang tak mampu menghargai kerja-kerja para ilmuwan.

“Indonesia membutuhkan jajaran SDM riset yang tidak hanya bergelar tertentu, tetapi berkapasitas sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan bagi pengembangan sains dan teknologi yang dicita-citakan,” tulis Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Rabu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama Seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama Seperti Anies Kemarin

Nasional
Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Nasional
Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Nasional
Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Nasional
Wapres Sebut Target Penurunan 'Stunting' Akan Dievaluasi

Wapres Sebut Target Penurunan "Stunting" Akan Dievaluasi

Nasional
Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Persilakan Golkar Tampung Jokowi dan Gibran, PDI-P: Kami Bukan Partai Elektoral

Nasional
Dana Pensiun Bukit Asam Targetkan 4 Langkah Penyehatan dan Penguatan pada 2024

Dana Pensiun Bukit Asam Targetkan 4 Langkah Penyehatan dan Penguatan pada 2024

Nasional
Di Depan Wiranto-Hendropriyono, Prabowo Minta Maaf Pernah Nakal: Bikin Repot Senior...

Di Depan Wiranto-Hendropriyono, Prabowo Minta Maaf Pernah Nakal: Bikin Repot Senior...

Nasional
Albertina Dilaporkan Wakil Ketua KPK, Ketua Dewas: Apa yang Salah? Ada Surat Tugas

Albertina Dilaporkan Wakil Ketua KPK, Ketua Dewas: Apa yang Salah? Ada Surat Tugas

Nasional
Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman

Polri Terbitkan Red Notice 2 Buron TPPO Bermodus Magang ke Jerman

Nasional
Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Surya Paloh Bakal Temui Prabowo di Kertanegara, Nasdem: Menguatkan Sinyal Komunikasi

Nasional
Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Temui Mensesneg Pratikno, Menpan-RB Anas Bahas Progres Skenario Pemindahan ASN ke IKN

Nasional
Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Jokowi Teken Perpres, Wajibkan Pemda Bentuk Unit Perlindungan Perempuan dan Anak

Nasional
Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Politikus PPP Sebut Ada Kemungkinan Parpolnya Gabung Koalisi Prabowo-Gibran

Nasional
Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Ini Status Perkawinan Prabowo dan Titiek Soeharto

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com