Paguyuban itu menaungi ratusan ilmuwan BPPT bernasib sama, dan diperkirakan masih ada ratusan lain yang masih menanti pendataan lebih lengkap.
Mereka tidak meminta pesangon. Mereka hanya meminta dipekerjakan kembali.
Pasalnya, usia mereka sudah dihabiskan untuk mengabdi di BPPT. Tak lagi muda, sulit bagi mereka mencari lapangan kerja, terlebih di masa pandemi Covid-19.
Baca juga: Eijkman dan Kisah Heroik Achmad Mochtar yang Dieksekusi Jepang...
Namun, toh Andika dkk bukan memikirkan nasib mereka saja, melainkan juga kelangsungan BPPT kelak, lembaga yang mereka cintai itu.
“Pemeliharaan alat pendeteksi tsunami itu setiap delapan bulan sekali. Jika (BPPT) dibubarkan, siapa yang mau mengurusnya? Alat itu dipasang di kedalaman ribuan meter. Di Bali saja 4.000 meter. Di Selat Sunda 2.700 meter. Di Samudra Hindia itu 3.000 meter. Peralatan itu beratnya 3 ton,” jelasnya.
Ini bukan hanya kerugian bagi ilmuwan seperti Andika atau Ishak. Ini kerugian negara yang tak mampu menghargai kerja-kerja para ilmuwan.
“Indonesia membutuhkan jajaran SDM riset yang tidak hanya bergelar tertentu, tetapi berkapasitas sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan bagi pengembangan sains dan teknologi yang dicita-citakan,” tulis Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), Rabu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.