"Semakin sebuah RUU punya kepentingan dengan elite baik di eksekutif maupun elite parpol atau lembaga-lembaga lain, semakin cepat DPR bisa membahas RUU itu," ujar Lucius.
"Sebaliknya jika urusan hanya untuk melayani kepentingan publik, DPR terlihat lamban," imbuh dia.
Baca juga: Prolegnas Prioritas 2022, Fraksi PKB Klaim Perjuangkan RUU TPKS dan RUU Kesejahteraan Ibu-Anak
Pelajaran dari UU Cipta Kerja
Kendati demikian, Lucius menilai cepatnya DPR dalam menyetujui sebuah kebijakan tak selalu berarti kebijakan itu dipertimbangkan secara matang dan sesuai dengan kepentingan publik.
Menurut dia, proses yang cepat itu lebih cenderung karena pemerintah telah 'mengendalikan' DPR, sehingga sebagai lembaga legislatif DPR hanya manut kepada lembaga eksekutif, tanpa menunjukkan sikap kritisnya.
"Ketika DPR cenderung menjadi sekadar “stempel” pemerintah, maka kualitas kebijakan seperti RUU yang dihasilkan menjadi terabaikan," kata Lucius.
Hal itu, setidaknya, terbukti dari putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat.
Dalam pertimbangannya, MK menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas, apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi.
Baca juga: DPR Tetapkan Prolegnas Prioritas 2022, Revisi UU Cipta Kerja Masuk Daftar Kumulatif Terbuka
Mahkamah juga menilai, dalam pembentukannya, UU Cipta Kerja tidak memegang asas keterbukaan pada publik meski sudah melakukan beberapa pertemuan dengan sejumlah pihak.
"Pola kerja DPR dalam pembahasan hampir semua RUU selama tahun 2021 juga hampir sama dengan proses pembahasan UU Cipta Kerja yakni kecenderungan untuk membahas terburu-buru sembari menghindari partisipasi publik demi memuluskan pengaturan yang memihak kepada kelompok elite," kata Lucius.
Sementara itu, Fajri berpendapat, putusan MK itu harus menjadi pelajaran bahwa proses pembentukan UU yang berlangsung di Senayan harus melibatkan partisipasi publik.
"Putusan ini memberikan penegasan bahwa partisipasi publik yang selama ini kerap tidak menjadi prioritas oleh pembentuk undang-undang justru memiliki peran yang vital," kata Fajri.
Ia berpandangan, selama ini DPR bersama pemerintah kerap memberi penafsiran yang terbatas terhadap partisipasi publik, yakni hanya melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi, seminar, lokakarya, atau diskusi.
Untuk itu, Fajri meminta agar partisipasi publik mesti mendapat porsi yang layak dalam pembentukan undang-undang.
Baca juga: Rapat Paripurna, DPR Sahkan 40 RUU Masuk Prolegnas Prioritas 2022
Menurut dia, ruang bagi publik untuk memberikan masukan mestinya tidak terbatas pada kehendak DPR, misalnya melalui RDPU di mana DPR dapat memilih dan memilah siapa yang boleh memberi masukan.