Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Putusan MK dan Erosi Partisipasi Publik Dalam Legislasi

Kompas.com - 28/12/2021, 16:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KESEHATAN demokrasi di suatu negara ikut ditentukan oleh kadar partisipasi. Semakin miskin partisipasi, demokrasi mengalami kelongsoran. Apalagi jika demokrasi ditafsirkan sempit, sekedar ritual pemilihan umum lima tahunan, tanpa melacak apakah demokrasi model prosedural seperti itu dipastikan berdampak signifikan pada demokrasi substansial.

Diskursus model ini tentu menarik ditelaah secara serius. Selama ini, perdebatan partisipasi, khususnya dalam konteks legislasi, tidak pernah berujung pada rambu-rambu normatif. Di UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, soal partisipasi diatur, baik asas maupun bentuknya.

Baca juga: Kritik Mahfud, Pakar: Tak Ada yang Membingungkan dalam Putusan MK soal UU Cipta Kerja

Namun, apabila dinafikan, selama ini tidak ada kejelasan sanksi. Paradigma ini kemudian berubah hebat saat terbit putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam perkara pengujian formal UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU CK). Sebab, untuk pertama kalinya, MK membatalkan sebuah undang-undang dalam perkara uji formal.

Meski, pembatalannya dalam bentuk pembatalan inkonstitusional bersyarat, yang memberi waktu dua tahun bagi pemerintah memperbaiki UU CK. Namun, setidaknya, pemerintah dan parlemen akan berhati-hati ke depan jika membentuk undang-undang tanpa pelibatan publik yang optimal.

MK tegas dan jelas, dalam pertimbangan hukumnya, menyatakan bahwa dalam pembentukan undang-undang, selain mendasarkan pada legal formal, partisipasi masyarakat perlu dilakukan secara bermakna (meaningful participation).

Partisipasi publik bermakna jika memenuhi tiga prasyarat: hak didengarkan pendapatnya, hak dipertimbangkan pendapatnya, dan hak mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat tersebut. Ini yang absen dari proses legislasi kita. Setidaknya hal itu diafirmasi pada kasus UU CK.

Habermas dan legislasi

Dalam khazanah filsafat, sudah sejak lama, filsuf Juergen Habermas mengingatkan soal kebutuhan untuk mengoreksi demokrasi. Koreksi dimaksud ditawarkan Habermas dalam bentuk demokrasi deliberatif. Demokrasi yang meradikalkan prinsip-prinsip demokrasi yang sudah ada dan tertanam selama ini.

Baginya, model demokrasi deliberatif ditujukan agar melahirkan aturan hukum yang legitimasinya bersumber dari kualitas prosedur deliberasi. Bukan sekedar produksi lembaga-lembaga formal negara (seperti parlemen). Namun, ini yang penting, produk hukum itu dibangun dan dirawat dari proses diskursus ketat masyarakat secara keseluruhan.

Artinya, keputusan-keputusan politik hanya bisa diterima dan mengikat semua anggota masyarakat jika itu merupakan produk dari sebuah proses dialog bebas tanpa tekanan, berbasiskan kesetaraan, dan rasionalitas yang mencerahkan.

Menurut Firman Wijaya (Bawaslu Kota Bogor, 2020) model demokrasi deliberatif ini merupakan titik awal proses demokrasi berada di luar lembaga-lembaga formal sistem politik. Terletak di wilayah publik. Lebih bersifat informal, yang berfungsi sebagai jembatan penghubung berbagai organisasi dan asosiasi yang membentuk masyarakat sipil.

Model ini memandang, setiap kebijakan publik harus diuji terlebih dahulu melalui konsultasi publik atau lewat diskursus publik dengan keberadaan “ruang publik” (public sphere).

Habermas ingin membuka ruang yang lebih lebar bagi masyarakat dalam proses pembentukan kebijakan publik. Tentu ini kemudian penting diagregasi ke arena pembentukan legislasi dalam berbagai forum seperti rapat dengar pendapat umum maupun reses dari anggota parlemen untuk sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam penyusunan hingga penetapan suatu undang-undang.

Jebakan bagi negara demokrasi

Dalam buku Demokrasi di Indonesia: dari Stagnasi ke Regresif dengan editor Thomas Power danEve Marbuton (KPG,2021:62-79),  Dan Slater menulis semacam kekhawatiran berlandaskan fakta bahwa demokrasi sedang surut dan otoritarianisme tengah mengalami pasang naik di seluruh dunia. Maka, agar Indonesia tidak terseret arus seperti itu, Dan Slater mengingatkan soal empat jebakan bagi negara demokrasi.

Baca juga: Erick Thohir Sebut Putusan MK soal UU Cipta Kerja Berdampak Minim ke BUMN

Jebakan pertama, jika negara gagal mengonsolidasi semua kekuatannya dan tergiring menuju skenario perang saudara atau separatisme. Menurut Slater, Indonesia lolos dari jebakan pertama.

Jebakan kedua, demokrasi bisa gagal jika ada pengambilalihan oleh militer. Kemudian militer menolak nilai-nilai demokratis. Untuk jebakan kedua, sekali lagi, kata Slater, di Indonesia saat ini tidak terjadi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pemerintah Bakal Bentuk Satgas Pemberantasan Judi 'Online' Pekan Depan

Pemerintah Bakal Bentuk Satgas Pemberantasan Judi "Online" Pekan Depan

Nasional
Ketua KPU Diadukan Lagi ke DKPP, Diduga Goda Anggota PPLN

Ketua KPU Diadukan Lagi ke DKPP, Diduga Goda Anggota PPLN

Nasional
KPK Duga Anggota DPR Ihsan Yunus Terlibat Pengadaan APD Covid-19

KPK Duga Anggota DPR Ihsan Yunus Terlibat Pengadaan APD Covid-19

Nasional
Projo Sebut Kemungkinan Prabowo Jadi Jembatan untuk Pertemuan Jokowi-Megawati

Projo Sebut Kemungkinan Prabowo Jadi Jembatan untuk Pertemuan Jokowi-Megawati

Nasional
Pakar Sebut Hakim MK Mesti Pertimbangkan Amicus Curiae Meski Bukan Alat Bukti

Pakar Sebut Hakim MK Mesti Pertimbangkan Amicus Curiae Meski Bukan Alat Bukti

Nasional
Bareskrim: 2 Oknum Karyawan Lion Air Akui Selundupkan Narkoba 6 Kali, Diupah Rp 10 Juta Per 1 Kg

Bareskrim: 2 Oknum Karyawan Lion Air Akui Selundupkan Narkoba 6 Kali, Diupah Rp 10 Juta Per 1 Kg

Nasional
Sekjen PDI-P: Otto Hasibuan Mungkin Lupa Pernah Meminta Megawati Hadir di Sidang MK

Sekjen PDI-P: Otto Hasibuan Mungkin Lupa Pernah Meminta Megawati Hadir di Sidang MK

Nasional
Peduli Kesejahteraan Masyarakat, PT Bukit Asam Salurkan Bantuan Rp 1 Miliar ke Masjid hingga Panti Asuhan di Lampung

Peduli Kesejahteraan Masyarakat, PT Bukit Asam Salurkan Bantuan Rp 1 Miliar ke Masjid hingga Panti Asuhan di Lampung

Nasional
Di Universität Hamburg Jerman, Risma Ceritakan Kepemimpinannya Sebagai Walkot dan Mensos

Di Universität Hamburg Jerman, Risma Ceritakan Kepemimpinannya Sebagai Walkot dan Mensos

Nasional
Kubu Prabowo Anggap 'Amicus Curiae' Sengketa Pilpres sebagai Bentuk Intervensi kepada MK

Kubu Prabowo Anggap "Amicus Curiae" Sengketa Pilpres sebagai Bentuk Intervensi kepada MK

Nasional
Sidang Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Dituntut 3 Tahun 5 Bulan Penjara

Sidang Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Dituntut 3 Tahun 5 Bulan Penjara

Nasional
Ajukan 'Amicus Curiae', Arief Poyuono Harap MK Tolak Sengketa Pilpres

Ajukan "Amicus Curiae", Arief Poyuono Harap MK Tolak Sengketa Pilpres

Nasional
Optimistis Pertemuan Prabowo-Megawati Berlangsung, Gerindra Komunikasi Intens dengan PDI-P

Optimistis Pertemuan Prabowo-Megawati Berlangsung, Gerindra Komunikasi Intens dengan PDI-P

Nasional
Dibantu Tony Blair Institute, Indonesia Percepat Transformasi Layanan Digital Pemerintah

Dibantu Tony Blair Institute, Indonesia Percepat Transformasi Layanan Digital Pemerintah

Nasional
Senat Mahasiswa Driyarkara Ajukan 'Amicus Curiae', Minta MK Kabulkan Sengketa Pilpres 2024

Senat Mahasiswa Driyarkara Ajukan "Amicus Curiae", Minta MK Kabulkan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com