JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Fadil Zumhana mengatakan, hukuman kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak memunculkan pro dan kontra di berbagai kalangan.
Peraturan hukuman kebiri kimia itu diatur dalam PP Nomor 70 Tahun 2020 yang merupakan turunan dari UU Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
"Sejak terbit peraturan pemerintah a quo telah muncul beragam pendapat dari berbagai kalangan," kata Fadil dalam diskusi publik daring yang diselenggarakan Universitas Pakuan, Selasa (28/12/2021).
Fadil mengungkapkan, ada pihak yang mendukung PP Nomor 70/2020 karena menilai aturan tersebut cukup kuat untuk mencegah kekerasan seksual pada anak.
Baca juga: 8 Negara yang Terapkan Hukuman Kebiri Kimia, Termasuk Indonesia
Selain itu, kekerasan seksual pada anak merupakan kejahatan luar biasa.
"Sehingga keputusan pemerintah menerbitkan PP tersebut merupakan implementasi atas amanat UU Nomor 17 Tahun 2016. Serta regulasi a quo memiliki nilai preventif lebih tinggi. Selain membuat orang lain tidak melakukan hal serupa, masyarakat juga dapat lebih hati-hati jika akan mempekerjakan mantan terpidana pelecehan seksual terhadap anak," ujarnya.
Di lain sisi, lanjut Fadil, ada pihak yang menyatakan aturan tersebut menimbulkan sejumlah persoalan.
Misalnya, tidak mengatur cara komprehensif, jelas, dan detail mengenai proses pelaksaanaan, pengawasan, dan pendanaan pelaksanaan kebiri kimia.
"Terlebih terdapat kemungkinan terpidana dengan putusan peninjauan kembali, diinyatakan tidak bersalah melakukan tindak pidana. Apakah terdapat mekanisme rehabilitasi dan atau ganti kerugian terhadap terpidana yang sudah terlanjur dieksekusi," ucapnya.
Baca juga: Apa Itu Hukuman Kebiri bagi Pelaku Kejahatan Seksual?
Selain itu, Fadil menuturkan, ikatan profesi dokter menolak mengekseksui hukuman kebiri kimia.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.