Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aiman Witjaksono
Jurnalis

Jurnalis

Aiman dan Jenderal Dudung yang Tak Terbendung

Kompas.com - 28/12/2021, 10:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HAMPIR seharian di hari itu, sejak sebelum subuh saya dan Tim sudah bersiap untuk mewawancarai Kepala Staf TNI Angkatan Darat, Jenderal Dudung Abdurachman di Markas Besar TNI AD (Mabesad) di kawasan Monas Jakarta Pusat. sekitar pukul 6 pagi, kami tiba di Mabesad. Sejumlah perwira militer juga tengah bersiap untuk melakukan upacara.

Tak berapa lama, Jenderal Dudung datang. Upacara jajar kehormatan telah disiapkan untuk dijalankan. Satu hal yang saya belum pernah melihat sebelumnya, satu persatu pakaian prajurit berpangkat Prada dan Pratu, diperiksa oleh Sang Jenderal. Bukan hanya soal kerapian, tetapi dari mana ia membeli baju, sendiri atau lewat kesatuan.

Baca juga: Dudung Abdurachman Minta Prajurut TNI AD Netral Jelang Tahun Politik

 

"Selayaknya para prajurit, tidak membeli pakaian sendiri, tetapi harus disiapkan oleh negara, dan itu menjadi tugas saya untuk menyiapkan!" ungkapnya kepada saya secara eksklusif di Program AIMAN yang tayang di Kompas TV setiap hari Senin, pukul 8 malam.

Saya kemudian diajak ke ruangan "sakral" yang belum pernah dimasuki wartawan sekalipun. Ruang kerja utama Sang Jenderal di Mabesad. Saya berpikir ruangan yang sangat luas, ternyata hanya terdiri dari dua ruangan sedang untuk bekerja dan rapat, dan satu kamar untuk berganti pakaian dan kamar mandi.

Yang mencuri perhatian saya adalah layar-layar yang terpampang di ruangan Sang Jenderal. Saya tanyakan, "Apa ini, Jenderal?" merujuk pada satu layar yang berisi grafik piramida.

Sang Jenderal menjawab, itu adalah posisi jabatan para prajurit TNI AD, dari atas (jenderal) sampai terbawah, prajurit dua (Prada).

Sebegitu pentingnya jenjang karier ratusan ribu Prajurit TNI AD, sehingga ada satu layar yang khusus memampang informasi tentangnya. Bagaimana pengembangannya, bagaimana kendalanya, dan bagaimana solusinya. Di sisi lain, ada pula tiga layar lainnya, yang saya tunjukkan di tayangan AIMAN.

Hari itu, saya berencana ikut Jenderal Dudung untuk menghadiri ulang tahun Divisi I Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang berlokasi di Cilodong, Depok, Jawa Barat. Saya pergi bersama Sang Jenderal menuju ke sana.

Di perjalanan saya berbicara ngalor-ngidul, soal kiprah selama ini Jenderal Dudung, yang memiliki warna, terkadang punya konsekuensi pro dan kontra, tapi tetap dijalankan, bagaikan tak berhenti menantang badai.

Saya bertanya soal patung Pak Harto, Pak Nasution, dan Pak Sarwo Edhie, yang "hilang" dari Museum Kostrad, saat dirinya menjadi Pangkostrad. Mantan Panglima TNI, Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo sempat mengatakan PKI sudah merasuk ke tubuh TNI terkait hal itu.

"Ini tunjukkan bahwa mau tidak mau kita harus akui, dalam menghadapi pemberontakan G30SPKI, peran Kostrad, peran sosok Soeharto, peran Kopassus yang dulu Resimen Para Komando dan Sarwo Edhie, dan peran Jenderal Nasution, peran KKO jelas akan dihapuskan dan (tiga) patung itu sekarang tidak ada, sudah bersih," kata Gatot saat menanggapi disingkirkannya patung-patung itu.

Selama ini, Dudung tak pernah menjawab soal ini. Hanya Kepala Penerangan Kostrad, kala itu yang menjawab. Saya tanyakan ini ke Jenderal Dudung.

"Pak AY Nasution (Pangkostrad 2011-2012), meminta kepada saya, agar mencopot patung - patung yang Pak AY buat. Setelah ia belajar agama lebih dalam, maka ia punya keyakinan bahwa ia merasa berdosa kepada Tuhan, karena telah memerintahkan membuat patung - patung tersebut," ujar Jenderal Dudung.

Beberapa pertanyaan yang sempat membuat viral juga saya ajukan. Termasuk pernyataan Jenderal Dudung yang kontroversial, soal jangan belajar agama terlalu dalam, saat mengisi kultum (kuliah tujuh menit) shalat subuh di sebuah masjid di Jayapura, Papua.

Apa jawaban Sang Jenderal?

"Kalimat saya dipotong, dan viral! Yang benar adalah, 'Jangan belajar terlalu dalam, tanpa bimbingan guru atau ustaz', ini yang saya katakan," ujarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com