SALAH satu masalah yang dibahas dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Twenty (G20) yang berlangsung di Roma 30-31 Oktober lalu, adalah perubahan iklim.
Masalah itu disikapi Presiden Joko Widodo dengan hadir dalam KTT Perubahan Iklim ke-26 di Glasgow, Skotlandia.
Dalam kapasitasnya sebagai Presiden Indonesia dan sebagai Ketua KTT G20 yang baru, Joko Widodo menunjukkan komitmennya terhadap masalah perubahan iklim.
Komitmen tersebut merupakan bentuk konkret dari politik lingkungan Presiden.
Di Glasgow, Joko Widodo menyatakan bahwa Indonesia tidak sekadar beretorika terkait masalah perubahan iklim.
Indonesia sudah menyusun langkah konkret mengatasi perubahan iklim.
Melalui Direktorat Adaptasi Perubahan Iklim Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meluncurkan Program Kampung Iklim.
Program ini disampaikan oleh Presiden Joko Widodo pada pembukaan Climate Adaptation Summit 2021 tanggal 8-9 Februari 2021.
Program tersebut menargetkan 20.000 kampung iklim pada tahun 2024.
Untuk mendukung pencapaian target tersebut, ada 8 langkah strategis yang perlu ditempuh, yaitu: penguatan kapasitas pemerintah daerah, penguatan kapasitas masyarakat, menjalin kemitraan multi pihak, mendorong kepemimpinan di tingkat lokal, mendorong komitmen para pihak, penyebarluasan keberhasilan, meningkatkan pengembangan dan penerapan teknologi tepat guna, serta mendorong optimalisasi potensi sumber pendanaan.
Apakah Program Kampung Iklim berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ilmiah yang cukup? Atau semata-mata berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politik?
Kedua, bagaimana sebaiknya pertimbangan ilmiah dan pertimbangan politik digunakan dalam perancangan dan pengembangan berbagai kebijakan menyangkut permasalahan lingkungan?
Latar belakang Program Kampung Iklim adalah perubahan iklim yang terjadi.
Dalam konteks Indonesia, data yang disampaikan oleh “Data Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menunjukkan bahwa suhu rata-rata Indonesia pada tahun 2016 lebih tinggi 1,2 derajat celcius dibandingkan normalnya, yaitu berdasarkan suhu rata-rata tahun 1981-2000.
Hal ini melampaui rata-rata anomali suhu tahun 2015, yaitu sebesar 1 derajat celcius dibandingkan normalnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah melaporkan bahwa terjadi kecenderungan kenaikan kejadian bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, kekeringan, kebakaran hutan dan puting beliung.
Kejadian bencana hidrometeorologi yang diperparah dengan faktor antropogenik terus meningkat dari tahun ke tahun, di mana saat ini tercatat mencapai 98 persen dari seluruh kejadian bencana di Indonesia.
Perubahan iklim merupakan persoalan dunia. Semua negara menghadapi masalah yang sama.