Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rencana Vaksin Nusantara Jadi Booster: Tak Bisa Diproduksi Massal hingga Belum Jelasnya Sikap Pemerintah

Kompas.com - 23/12/2021, 09:37 WIB
Dian Erika Nugraheny,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Vaksin Nusantara kembali diperbincangkan publik usai disebut sebagai salah satu jenis vaksin untuk booster vaksinasi Covid-19.

Hal ini disampaikan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto saat menggelar konferensi pers terkait Evaluasi PPKM yang dilakukan secara daring pada Senin (20/12/2021)

Menurut Airlangga, rencana penggunaan vaksin Nusantara juga atas arahan Presiden Joko Widodo.

Vaksin yang dikembangkan Mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto ini akan melengkapi daftar vaksin booster bersama dengan vaksin Merah Putih.

Baca juga: Vaksin Nusantara Dipertimbangkan Jadi Booster, Ini Deretan Pejabat yang Sudah Disuntik

Menanggapi rencana pemerintah tersebut, Kepala Lembaga Biologi Molekuler (LBM) Eijkman Amin Soebandrio mengatakan, vaksin Nusantara tidak dapat digunakan untuk vaksinasi Covid-19 secara massal.

Dia menekankan, vaksin itu dapat digunakan sebagai booster tetapi hanya untuk peruntukan secara individu.

"Vaksin Nusantara tidak bisa untuk massal, hanya untuk individu. Jadi kalau dikembangakn untuk A hanya dipakai untuk A saja. Tidak bisa untuk B," ujarnya saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (22/12/2021).

"Ya bisa dipakai buat booster tapi untuk orang yang sama. Jadi vaksin primernya menggunakan vaksin Nusantara, lalu booster juga pakai itu," lanjutnya.

Hal ini, menurut dia, karena platform vaksin Nusantara yang diambilkan dari sel individu itu sendiri.

Baca juga: Pemerintah Waspada Omicron: Siapkan Vaksin Nusantara Jadi Booster hingga Pertimbangkan Karantina Jadi 14 Hari

Sehingga secara garis besar dapat disebutkan untuk setiap orang dibuat vaksinnya sendiri.

"Ya memang platfromnya vaksin Nusantara begitu. Menggunakan selnya sendiri. Dan itu hanya diberikan ke orang yang sama," kata Amin.

Kata BPOM dan Kemenkes

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito mengatakan, pihaknya tidak memiliki otoritas untuk memberikan pernyataan terkait vaksin Nusantara menjadi salah satu opsi untuk vaksin booster.

Penny menilai dalam hal ini Kemenkes yang bisa memberikan keterangan terkait vaksin Nusantara.

"Bukan otoritas BPOM untuk menjawab ini. (Tapi) Kemenkes," kata Penny, Rabu.

Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito, saat ditemui Kompas.com pada Rabu (14/4/2021) di kantornya.KRISTIANTO PURNOMO Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito, saat ditemui Kompas.com pada Rabu (14/4/2021) di kantornya.

Secara terpisah, Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 dari Kemenkes Siti Nadia Tarmizi mengatakan, saat ini, pihaknya masih menyempurnakan kebijakan terkait pelaksanaan vaksinasi dosis ketiga atau booster vaksin.

"Masih dimatangkan kebijakannya. Ditunggu saja," kata Nadia saat dihubungi terpisah.

Baca juga: Kilas Balik Polemik Vaksin Nusantara: Dikritik Peneliti dan Kini atas Perintah Jokowi Jadi Booster

Terkait perkembangan penelitian vaksin Nusantara, Nadia tak mengungkapkan secara spesifik informasi terbaru mengenai vaksin dengan sel dendritik tersebut.

Ia meminta seluruh pihak menunggu informasi selanjutnya dari Kemenkes.

"Kita tunggu saja. Ini (perkembangan vaksin Nusantara) mungkin ke penelitinya ya," ujarnya.

Sempat jadi polemik hingga ada nota kesepahaman

Vaksin Nusantara ini digagas oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Pengembangan vaksin tersebut dilakukan dengan metode sel dendritik (dendritic cell) autolog atau komponen sel darah putih yang disebut menjadi yang pertama kali di dunia untuk Covid-19.

Dalam prosesnya, vaksin ini mendapat banyak kritik dari berbagai pihak.

Baca juga: Kemenkes Sebut Vaksin Nusantara Tak Bisa Dikomersialkan

Ahli Biomolekuler dan Vaksinolog Ines Atmosukarto mengatakan, vaksin Nusantara datanya diduga belum terlihat. Data uji klinis I belum terlihat dan belum di-update ke data uji klinis global.

Menurut Ines, ada prosedur yang harus dilewati, yakni mendapat izin dari Komite Etik, setiap protokol uji klinis dapat izin dari mereka.

Ia juga meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk memberhentikan perizinan pengembangan vaksin tersebut jika ada aturan yang tidak sesuai.

Kemudian, pada 8 Maret 2021, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FK-KMK), Universitas Gadjah Mada (UGM) memutuskan untuk mengundurkan diri dari tim penelitian vaksin Nusantara.

Baca juga: Disuntik Terawan Vaksin Nusantara, Moeldoko: Biarlah Saya Ikut Coba Dulu

Sebab, para peneliti tidak dilibatkan dalam proses uji klinis, termasuk dalam penyusunan protokol.

"Kami baru tahu saat itu muncul di media massa bahwa itu dikembangkan di Semarang, kemudian disebutkan dalam pengembangannya melibatkan tim dari UGM," ujar Wakil Dekan FK-KMK UGM Bidang Penelitian dan Pengembangan Yodi Mahendradhata dalam keterangan tertulis Humas UGM.

Sementara itu, Kepala BPOM Penny Lukito juga sempat memberikan pernyataan setelah selesai meninjau hasil uji klinis I vaksin Nusantara.

"Saya hanya memberikan komentar bahwa data yang diberikan tadi tidak sama dengan data yang diberikan kepada BPOM dan kami sudah melakukan evaluasi," ucap dia.

Penny mengatakan, BPOM sudah menyerahkan hasil peninjauan atas uji klinis tersebut pada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan tim peneliti vaksin di Semarang.

Baca juga: [HOAKS] Vaksin Nusantara Sudah Dipesan Turki 5,2 Juta Dosis

Polemik vaksin Nusantara diakhiri pemerintah dengan penandatanganan nota kesepahaman penelitian berbasis pelayanan menggunakan sel dendritik pada 19 April 2021

Penandatanganan nota kesepahaman tersebut dihadiri Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny K Lukito.

Penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan imunitas terhadap virus SARS-CoV-2 itu digadang-gadang tidak untuk dikomersialkan.

"(Penelitian) bersifat autologus yang hanya dipergunakan untuk diri pasien sendiri sehingga tidak dapat dikomersialkan dan tidak diperlukan persetujuan izin edar," demikian keterangan tertulis Dinas Penerangan Angkatan Darat (Dispenad), Senin.

Penelitian ini nantinya akan dilakukan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografis: Mengenal Vaksin Nusantara

Baca juga: Vaksin Nusantara Jadi Opsi Booster Vaksin Covid-19 atas Arahan Presiden Jokowi

Selain itu, penelitian ini diyakini akan memedomani kaidah penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.

Tak hanya itu, penelitian ini juga bukan kelanjutan dari penelitian vaksin Nusantara yang terhenti sementara karena kaidah ilmiah yang tak terpenuhi.

"Penelitian ini bukan merupakan kelanjutan dari uji klinis adaptif fase 1 vaksin yang berasal dari sel dendritik autolog yang sebelumnya diinkubasi dengan spike protein Severe Acute Respiratory Syndrome Corona Virus-2 (SARS-CoV-2) pada subyek yang tidak terinfeksi Covid-19 dan tidak terdapat antibodi antiSARS-CoV-2," tulis keterangan tertulis tersebut.

"Karena uji klinis fase 1 yang sering disebut berbagai kalangan sebagai program vaksin Nusantara ini masih harus merespons beberapa temuan BPOM yang bersifat critical dan major," demikian isi keterangan tertulis tersebut.

Para pejabat telah disuntik

Hingga saat ini, kepastian tentang perkembangan penelitian vaksin Nusantara belum diketahui secara pasti.

Meski demikian, pertengahan April 2021 lalu sejumlah pejabat telah menerima suntikan booster dari vaksin tersebut.

Pada 22 April 2021, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Melkiades Laka Lena mengatakan, ia bersama sejumlah anggota DPR lainnya disuntik vaksin Nusantara.

Baca juga: Ngotot Kembangkan Vaksin Nusantara, Terawan: Saya Tak Butuh Anggaran Negara

Dalam kesempatan yang sama, Anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay juga mengaku telah disuntik vaksin Nusantara. Saleh mengaku disuntik langsung oleh Terawan.

"Sudah disuntik sama dokter Terawan, alhamdulillah enggak ada masalah nih, aman saja,” ucap dia.

Adapun beberapa anggota DPR yang disuntik vaksin Nusantara merupakan relawan dari penelitian vaksin tersebut. Mereka di antaranya Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad dan Wakil Ketua Komisi IX Nihayatul Wafiroh.

Kemudian, beberapa anggota Komisi IX DPR RI seperti Arzeti Bilbina, Saniatul Lativah, Sri Meliyana, dan Anas Thahir.

Baca juga: Saat Terawan Racik Vaksin Nusantara di DPR

Selanjutnya, Kepala Kantor Staf Kepresidenan Moeldoko juga menjadi salah satu tokoh yang telah menerima suntikan vaksin Nusantara.

Moeldoko disuntik vaksin booster itu pada 30 Juli 2021.

Sebelum menerima vaksin booster, mantan Panglima TNI itu telah menerima suntikan dosis pertama dan kedua pada Maret 2021.

Selain itu, Mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo juga ikut menjadi relawan uji klinis vaksin Nusantara.

Kala itu, Gatot mengaku mendapat tawaran langsung dari Terawan.

Baca juga: Disuntik Terawan Vaksin Nusantara, Moeldoko: Biarlah Saya Ikut Coba Dulu

Dewan Pembina Partai Golkar Aburizal Bakrie juga menerima suntikan vaksin Nusantara pada pertengahan April 2021.

Aburizal mengaku sebagai relawan yang mendukung program vaksinasi dalam negeri.

Terakhir, putri dari Presiden RI ke-2 Soeharto, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto pun tak ketinggalan menjadi relawan untuk penelitian vaksin Nusantara.

Peneliti utama Vaksin Nusantara Kolonel Jonny mengatakan, Titiek melakukan pengambilan sampel darah di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto, Jakarta pada 22 April 2021.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com