JAKARTA, KOMPA.com - Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komaruddin menilai, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen yang berlaku saat ini masih terlalu tinggi.
Ujang berpandangan, tingginya presidential threshold menyebabkan sosok yang dapat maju pada pemilihan presiden hanya berputar di nama yang itu-itu saja.
"Yang muncul 4L, lu lagi lu lagi, karena itu 20 persen itu angka yang dibentuk untuk mengukuhkan oligarki," kata Ujang saat dihubungi Kompas.com, Senin (20/12/2021).
"Kalau kita ingin menghadirkan atau memunculkan capres dan cawapres alternatif yang akan memberikan banyak pilihan kepada publik, maka semestinya, saya sebagai pribadi (mengusulkan) angka moderat itu di angka 10 (persen)," ujar dia.
Menurut Ujang, presidential threshold 10 persen merupakan jalan tengah karena tidak terlalu rendah dan tidak terlampau tinggi, meski ia juga mendukung wacana presidential threshold nol persen yang diajukan sejumlah pihak.
Baca juga: Presidential Threshold: Pengertian dan Sejarahnya dari Pemilu ke Pemilu di Indonesia
Namun, ia menilai, wacana tersebut akan sulit terwujud karena Mahkamah Konstitusi (MK) belum pernah mengabulkan perubahan presidential threshold melalui judicial review.
Revisi UU Pemilu untuk mengubah angka presidential threshold juga dinilai mustahil terjadi karena partai-partai besar yang menduduki mayoritas kursi di parlemen justru akan dirugikan bila threshold diturunkan.
Sebab, partai-partai tersebut akan kehilangan pengaruhnya dalam proses pencalonan presiden.
"Karena nanti bisa jadi capresnya yang menang itu adalah didukung partai kecil dan penentuan capres cawapres tidak didominasi oleh partai besar, partai mana saja bisa," kata Ujang.
Ujang pun tidak heran apabila ada perubahan sikap dari sejumlah partai politik dalam memandang presidential threshold.
"20 persen atau berapapun persen, itu kan berbasis kepentingan sesaat ketika itu," kata dia.
Baca juga: Membandingkan Sikap Parpol soal Presidential Threshold Jelang 2024 dan di Pemilu Sebelumnya
Ujang mencontohkan Partai Demokrat kini meminta presidential threshold nol persen meski presidential threshold 20 persen ditetapkan saat Demokrat menjadi partai pemerintah.
Contoh lain, Gerindra saat ini mengaku tak masalah dengan berapapun angka presidential threshold, padahal sebelumnya sempat menolak presidential threshold sebesar 20 persen.
Oleh karena itu, Ujang berpandangan, Undang-Undang Pemilu semestinya dapat diberlakukan untuk jangka waktu yang panjang, tidak selalu diubah setiap lima tahun sekali menjelang pemilu.
"Sehingga tidak seperti memakai popok bayi, sekali pakai buang, sekali pakai buang, inilah akibatnya seperti ini. Makanya dulu mendukung, sekarang tidak," kata Ujang.
Wacana mengubah presidential threshold dari angka 20 persen kembali berhembus setelah sejumlah pihak mengajukan judicial review terkait ketentuan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.
Baca juga: Demokrat Tanggapi Kritik soal Sikap Inkonsisten tentang Presidential Threshold: Politik Itu Dinamis
Sejumlah fraksi di parlemen pun turut menyuarakan pentingnya menurunkan presidential threshold meski beberapa partai lainnya tidak mempermasalahkan presidential threshold sebesar 20 persne.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.