ALKISAH di suatu masa, Nasruddin Hodja berpergian bersama putranya dengan membawa serta keledai mereka yang kurus.
Nasruddin memutuskan agar putranya saja yang naik keledai itu.
Di perjalanan, orang-orang memandang Nasruddin dan putranya dengan heran.
“Lihatlah anak itu. Sungguh anak yang tidak sopan dan tidak berbakti sama sekali. Ayahnya sudah tua, lelah berjalan dan menuntun keledainya. Sedangkan ia? Enak-enakan aja duduk di punggung keledai,” kritik warga.
Putra Nasruddin merasa malu. Ia bergegas turun dari keledai dan meminta ayahnya untuk menggantikannya naik keledai itu.
Ia berharap bahwa tidak ada lagi orang akan mengkritik mereka.
Namun harapan putra Nasruddin sepertinya sia-sia juga.
“Lihatlah bapak itu! Sama sekali tidak punya belas kasihan pada putranya yang kelelahan. Sebagai orangtua, seharusnya ia mengalah dan membiarkan putranya yang menaiki keledai itu!” kritik salah seorang di antara kerumunan warga yang melihat Nasruddin dan putranya.
Nasruddin dan putranya mulai kesal karena kritik demi kritik yang diucapkan warga. Begini salah, begitu juga salah.
Akhirnya mereka memutuskan tidak ada seorang pun di antara mereka yang naik keledai. Nasruddin dan putranya sama-sama berjalan dengan menuntun si keledai.
Namun orang-orang kembali mencibir mereka.
“Sepasang orang bodoh, bapak dan anaknya sama-sama 'bego'. Punya keledai kok tidak ditunggangi? Siang bolong begini mau-maunya berjalan kaki!” kritik warga.
Nasruddin menyerah. Ia berujar ke putranya,”Nah susah sekali yah melepaskan diri dari kritik orang? Semuanya serba salah!”.
Kisah sufi kelahiran Desa Hortu Sivrihisan, Eskisehir, Turki ini bisa jadi akan tetap “aktual” dan relevan dengan atmosfer politik nasioal kita saat ini.
Kritik demi kritik yang dilontarkan kelompok atau individu yang tidak sepaham dengan rezim yang berkuasa, terus gencar disuarakan.
Kritik keras dan terbuka yang dilontarkan Wakil Ketua Umum Majelis Umum Indonesia (MUI) Anwar Abbas di forum Kongres Ekonomi Umat Islam II MUI pada Jumat, 10 Desember 2021, tidak urung memantik reaksi langsung dari Presiden Joko Widodo.
Kebetulan acara ini dibuka dengan resmi oleh Presiden Jokowi.
Awalnya Anwar Abbas menyampaikan kritik mengenai masih terjadinya kesenjangan di masyarakat.
Menurut dia, masih banyak rakyat yang kini sudah sejahtera, tetapi hanya dinikmati dari kalangan tertentu saja.
Tingginya kesenjangan tersebut terbukti dari masih besarnya angka indeks gini ekonomi dan indeks gini bidang pertanahan.
Sebagian besar lahan di tanah air dikuasai oleh kalangan tertentu saja.
Dari data yang dikutip Anwar Abbas, indeks gini bidang pertanahan yang menyentuh angka 0,59 berarti 1 persen penduduk Indonesia menguasai 59 persen lahan yang ada di negeri ini.
Sementara 99 persen penduduk Indonesia sisanya, hanya menguasai 41 persen lahan yang tersisa.
Padahal jumlah usaha besar hanya 0,001 persen dengan jumlah pelaku usaha di sekitaran jumlah 5.550 serta memiliki aset di atas 10 miliar dolar AS.