Saat ini sekitar 90 persen perdagangan dunia dikapalkan dalam peti kemas.
Setengahnya, atau kurang-lebih 7 juta unit dibongkar di berbagai pelabuhan di AS setiap tahunnya.
CSI memastikan bukan benda-benda terakhir yang masuk ke daratan AS.
Pemeriksaan terhadap peti kemas yang akan diekspor ke AS dilakukan di pelabuhan muat (port of origin) oleh tim dari CBP, dan tentu saja melibatkan tandem-nya, yakni Penjaga Pantai AS atau USCG, bekerja sama dengan instansi setempat.
Pemeriksaan mencakup penggunaan sumberdaya intelijen, teknologi informasi, detektor sinar gamma.
Dan, terakhir, pemanfaatan peti kemas yang memiliki kepekaan terhadap berbagai upaya modifikasi. Kini 47 pelabuhan ikut dalam program ini.
Pada Juni 2002, Organisasi Pabean Internasional atau World Customs Organization secara aklamasi mengesahkan resolusi yang dapat dijadikan dasar hukum bagi 161 anggotanya untuk penerapan sistem pemeriksaan peti kemas.
Sistem tersebut disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing negara selain yang diterapkan dalam CSI.
Kebijakan kedua, proliferation security initiative (PSI). Kebijakan ini berkenaan dengan kewenangan negara pihak ketiga untuk melakukan pencegatan atau interdiction terhadap kapal berkebangsaan tertentu di laut lepas yang dicurigai membawa senjata atau bahan nuklir.
PSI dikembangkan oleh John R. Bolton, mantan Wakil Menteri Pertahanan AS bidang Pengendalian Senjata dan Keamanan Internasional dan Duta Besar untuk PBB.
Ia mengusulkan kebijakan ini menyusul ditemukannya 15 rudal Scud di dalam kapal barang Korea Utara yang tengah berada di perairan internasional dan karenanya tidak bisa ditangkap.
Secara resmi PSI diumumkan oleh Presiden George W. Bush pada 31 Mei 2003 di Krakow, Polandia.
Saat ini PSI telah diikuti oleh lebih 90 negara, mencakup, antara lain, Rusia, Kanada, Inggris, Australia, Prancis, Jerman, Italia, Portugal, Spanyol, Japan, Belanda, Polandia, dan Norwegia.
Semantara itu, sembilan negara (Bahama, Belize, Kroatia, Siprus, Liberia, Malta, Kepulauan Marshall, Mongolia dan Panama) telah menandatangani perjanjian bilateral Mutual Shipboarding Pacts dengan AS.
Dengan penandatanganan itu, USCG diperbolehkan menaiki kapal yang mengibarkan bendera negara tersebut.
Kebijakan ketiga, global maritime partnership initiative (GMP). Kebijakan ini merupakan buah pikiran Laksamana Michael Mullen, mantan Chief of Naval Operation/Kepala Staf AL AS.
Di kalangan kemaritiman internasional kebijakan ini disebut juga dengan ”AL berkekuatan 1.000 kapal” atau 1.000-ship Navy.
Ada juga yang menyebutnya dengan global maritime network. Secara umum GMP merupakan forum kerja sama antara lembaga maritime security (angkatan laut, coast guard/penjaga pantai atau lainnya) di dunia yang diarahkan untuk menciptakantatanan maritim yang bebas dari perompakan, senjata nuklir dan berbagai ancaman lainnya yang menjadikan laut sebagai mediumnya.