Tengok, misalnya, kitab karya Mbah Kyai Hasyim, kitab Adabul ‘alim wal-muta’alim, yang berisi etika dan metodologi pembelajaran. Atau, Ki Hajar Dewantara yang mengusung konsep Tut Wuri Andayani, Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso. Kedua konsep tersebut kongruen dengan student-teacher-aesthetic-role-playing, konsep yang dikembangkan dari SCL.
Baca juga: Indonesia-Belanda Gelar Pekan Pendidikan dan Riset, Terbuka untuk Umum
Menurut filosofi dasar pemikiran keduanya, untuk menjadi motivator, dinamisator, pendidik, bahkan menjadi pemimpin, tidak selalu harus berada di garis depan. Dengan filosofi ini, tidak ada relasi subjek-objek, yang ada adalah relasi antar subjek yeng bersifat dialektis dan dinamis.
Proses pendidikan harus dijalani secara ngangeni, menggembirakan. Implikasinya, pendidik tidak saja dituntut untuk menguasasi materi, kreatif, dan dinamis, namun juga prigel. Sedangkan peserta didik dituntut untuk kritis, tetapi penuh respek dan sumeh (ramah, terlibat utuh, senang, dan nyaman).
Visi pendidikan berbasis riset tidaklah diorientasikan untuk menjawab problem dualisme universalisme-partikularisme, empirisisme-rasionalisme, dan eksak-sosial-humaniora. Cara pandang yang dikotomistik dan oposisi biner serupa itu gagal dalam melihat kebenaran di posisi seberang.
Orientasi riset meniscayakan menganut pluralisme epistemologi dan pluri-metodologi yang tidak begitu saja menerima klaim-kebenaran mengenai universalisme nilai-nilai ilmiah, teori, dan metodologi keilmuan.
Semua kebenaran selalu dipandang sebagai kebenaran sementara, hipotesis, sehingga lebih menganut epistemologi kontekstual. Riset ini tidak mengingkari kebenaran umum, namun sangat menekankan konteks lokalitas yang berpengaruh pada penafsiran, pemaknaan, dan pemahaman atas data, fakta, teori, dan dalil kebenaran.
Nilai-nilai lokal ditekankan sebagai, meminjam istilah Heidegger, house of being dari pengetahuan. Lokalitas (regional dan nasional) dan kesadaran kultural dipandang sebagai titik tolak tafsir.
Pengetahuan dibentuk secara konstruktivis-kontekstualis, yang bermakna bahwa semua klaim pengetahuan (fakta, kebenaran, validitas) hanya dapat dimengerti dan diperdebatkan dalam konteks tertentu dan dalam orientasi atau komunitas tertentu pula.
Apa yang dipandang sebagai lebih valid dan lebih baik atau lebih buruk mengenai teori ilmiah, akan berbeda dari komunitas yang satu dengan lainnya. Tidak satu pun orientasi, teori, konsep, tafsir, atau pemikiran yang diterima sebagai sesuatu yang final.
Kedudukan sains dan pengetahuan, entah bersumber dari teks, eksperimen, maupun perenungan dan penalaran, pada akhirnya, sama dengan jenis pengetahuan lain. Pluralisme metodologi merupakan pengakuan atas adanya berbagai mazhab penafsiran terhadap kebenaran dan kaitan relasional antar-pengetahuan.
Sebagai dasar dalam memahami realitas, riset bertumpu pada prinsip heterologika sains, yakni adanya keanekaragaman logika keilmuan. Karena itu, model riset ini juga mengakui bahwa kenyataan memiliki jenjang yang masing-masing, memiliki logika tersendiri yang dihubungkan oleh prinsip objektif-interobjektif dan subyektif-intersubjektif.
Namun demikian, hal ini bukanlah sebuah deklarasi terhadap relativisme kebenaran, agnotisme pengetahuan, maupun anarkisme epistemologis yang mempermainkan kebenaran dalam belantara bahasa dan realitas simulacrum.
Tujuan riset dan pencarian ilmu pengetahuan terkait erat dengan apa yang dianggap penting bagi atau apa yang dihargai oleh nilai-nilai keindonesiaan, Pancasila, dan nilai-nilai ke-NU-an.
Terkait dengan itu, terdapat tiga ranah yang menandai orientasi riset. Pertama, indigenisasi-kontekstualisasi. Ilmu-ilmu sosial, humaniora, filsafat, dan ilmu-ilmu alam dan teknik, perlu dikontekstualisasikan dalam konstruksi realitas empiris dan ranah tata nilainya.
Kontekstualisasi ini menentukan pengetahuan sosial, humaniora, dan sains teknologi apa yang dibutuhkan, bermanfaat, dan tidak merusak sumber daya alam dan masyarakat. Ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, bangsa dan negara, berguna bagi kelestarian ekologi, adalah strategis dan diprioritaskan.
Kedua, konservasi. Setiap bangsa memiliki lingkungan kebudayaan yang spesifik yang terdiri dari lingkungan material (seperti karakter geografis, dan sumber daya alam) dan non-material (nilai, adat, dan tradisi), yang membentuk kesadaran historis masyarakatnya). Ilmu dan pengetahuan digali dan diserap sesuai dengan lingkungan fisik dan nonfisik kebudayaannya, serta diadaptasi, dan diterapkan untuk konservasi budaya dan alam itu sendiri.
Ketiga, “nasionalisasi” tata kelola kelembagaan ekonomi dan politik. Upaya menata kehidupan agar mencapai tujuan konstitusi dan mewujudkan kemuliaan bangsa dan masyarakat membutuhkan rekonstruksi di semua dataran, termasuk tata kelola lembaga politik dan ekonomi, agar mandiri dan berdaulat. Pengembangan ilmu dan pengetahuan seharusnya dikaitkan dan terkait langsung dengan proses penataan kelembagan tersebut.
Dengan kerangka orientasi tersebut, dalam pendidikan dan riset dapat diandalkan untuk mendorong indigenisasi tata nilai, menegakkan kedaulatan tata kelola ekonomi dan politik, konservasi sumber daya alam, dan revitalisasi-kontekstualisasi tradisi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.