Abah Hasyim berharap dengan tidak majunya dalam bursa pemilihan calon ketua umum, akan semakin banyak kader muda potensial yang terpanggil melanjutkan pengabdiannya di NU.
Baginya, masa depan NU adalah regenerasi.
Tahun itu, KH Said Aqil Siradj merupakan kandidat potensial yang bersaing, antara lain, dengan Slamet Effendy Yusuf.
Abah Hasyim berpesan agar pergantian kepemimpinan NU tidak menjadikan arah perjuangan dan aqidah NU menjadi berubah.
"Saya berharap pergantian pengurus tidak menjadikan perubahan haluan NU. Biarkan yang berubah itu hanya kepemimpinannya," kata Abah.
Agak berbeda dengan Abah Hasyim, konon Gus Dur juga tak berminat mencalonkan diri ketiga kalinya untuk menjadi Ketua Umum NU.
Ia melihat NU dalam masa transisi kritis di akhir kekuasaan Orde Baru. Ia tidak kuasa meninggalkan gelanggang sementara nasib NU dipertaruhkan.
Sejarah mencatat, Orde Baru mulai mengintervensi dan ingin mengendalikan NU. Gus Dur maju untuk menghadang siasat jahat.
Di tahun-tahun itu, Orde Baru mulai merangkul sebagian ormas-ormas Islam ke dalam jaring kooptasi agar mendukung penguasa.
Pencalonan Gus Dur di muktamar Cipasung sebagai bentuk jawaban atas adagium "lu jual gue beli."
Hingga bertahun-tahun ke depan, Nahdliyin tidak akan lupa bagaimana makar dilakukan aparat untuk menumbangkan Gus Dur yang terlanjur kuat di kultur dan struktur.
Gus Dur tak pernah kehabisan energi untuk meluruskan praktik deviasi politik Orde Baru. Ia tidak kenal kata lelah mengkritik dominasi Soeharto atas ormas-ormas Islam.
Ia menyampaikan kecaman secara terang-terangan. Kritikan Gus Dur terhadap Soeharto semakin keras pada era tahun 90-an.
Puncaknya, ia bergeming, berdiri sendirian, menolak kalahirannya apalagi bergabung ke dalam ICMI.
Segala cara dicoba penguasa. Semua unsur eksternal dan internal NU dimaksimalkan.
Dari luar, jelas kasat mata dan terasa. Aparat hilir mudik hingga di ruang-ruang sidang muktamar.
Dari dalam, penguasa menggunakan Abu Hasan. Sebuah nama yang agak asing dibanding dua kandidat lain; Chalid Mawardi dan dr Fahmi D. Saifuddin, kakaknya Lukman Hakim Saifuddin dan putra eks Menag KH Saifuddin Zuhri.
Saat putaran kedua pemilihan ketua umum, sejumlah kiai sepuh yang duduk dekat Gus Dur, meneteskan air mata.