SIAPA berani menyangkal sinyalemen bahwa regenerasi di tubuh Nahdlatul Ulama (NU) saat ini berlangsung tidak smooth?
Siapa berani mengakui kaderisasi di NU tepat sasaran dan sesuai "jadual" jika dalam 3 periode tiada terjadi suksesi?
Siapa tidak khawatir, bonus "demografi" di NU sudah dikelola dengan baik jika kader dipersiapkan, tapi generasi salaf tidak siap pindah ke pinggir lapangan?
Muktamar ke-34 tinggal menghitung hari. Semua draft terkait masa-il internal dan masa-il eksternal, sudah dipersiapkan lewat sejumlah konbes dan munas alim ulama.
Namun hingga kini, umat belum mendapat alasan "la budda --tidak boleh tidak", mengapa KH Said Aqil Siradj kembali ambil bagian berkompetisi melawan kadernya.
Saat ini, beliau tengah berpikir keras bagaimana mengalahkan kader yang dia sendiri adalah "gurunya".
Menjelang pekan keempat bulan Desember 2021, baru dua nama yang secara terbuka meng- ikhbar kepada publik.
KH Yahya Cholil Staquf melakukannya lebih awal, yakni setelah mendapat restu dan doa dari KH Said Aqil Siradj.
Akhir pekan lalu, didampingi orang-orang dekatnya, Kiai Said mengaku juga mengantongi restu sejumlah ulama.
Mengikuti Gus Yahya, Kiai Said resmi "nyalon" untuk ketiga kalinya.
Sejak menjadi Ketua Umum hingga menyelesaikan kepemimpinannya di PBNU selama dua periode, Penulis adalah "ghost writer" KH Achmad Hasyim Muzadi.
Almarhum biasa dipanggil Abah. Sebutan akrab oleh anak-anak "ideologisnya" di NU. Abah senang dan happy dengan panggilan itu.
Abah Hasyim sangat berkomitmen dengan kader, kaderisasi dan regenerasi. Kalau mau, Abah tak akan sulit memenangi muktamar.
Saat menemani Abah, Rabu (19/8/2009), wartawan bertanya kemungkinan maju lagi di muktamar ke-32 di Makassar.
"Sudah sering saya kemukakan bahwa saya tidak akan nyalon lagi dalam muktamar nanti. Keputusan saya ini sudah final, saya tidak akan nyalon lagi meskipun tidak ada pembatasan masa jabatan," kata Abah Hasyim menjawab keraguan publik, terutama dari para suksesornya.
Keputusan tidak maju untuk ketiga kalinya di muktamar, diakui Abah, sebagai bentuk komitmennya yang tidak bisa ditawar demi menghargai sistem kaderisasi di organisasi NU, dan menjadi program kerja semua PBNU.
Selain karena alasan standar jam'iyyah tersebut, Abah juga memaksudkan untuk memberikan kesempatan bagi munculnya kader-kader muda yang lebih gesit dan cekatan dalam memimpin NU.
"Sikap saya yang tidak maju itu karena didasari maksud untuk memberikan kesempatan kepada para kader NU lainnya. Saya ingin jadikan NU ini republik, bukan kerajaan," katanya.