Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Presidential Threshold 20 Persen, Digugat karena Dinilai Batasi Demokrasi

Kompas.com - 15/12/2021, 08:49 WIB
Tsarina Maharani,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Jelang Pemilu 2024, perbincangan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold kembali menghangat.

Aturan yang tertuang dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 digugat sejumlah pihak ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Alasannya, syarat pasangan calon presiden dan wakil presiden harus diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR membatasi tiap warga negara untuk maju.

Baca juga: Layangkan Gugatan ke MK, Gatot Nurmantyo Minta Ketentuan Presidential Threshold 20 Persen Dihapus

Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo menjadi salah satu pihak yang menggugat aturan tersebut. Dalam permohonannya ke MK, Gatot meminta hakim MK membatalkan ketentuan Pasal 222 UU Nomor 7/2017.

Menurut Gatot, yang diwakili kuasa hukum Refly Harun, Pasal 222 UU Nomor 7/2017 itu bertentangan dengan ketentuan Pasal 6 Ayat (2), 6A Ayat (5), dan 6A Ayat (2) UUD 1945.

"Karena telah mengakibatkan pemohon kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa (presiden dan wakil presiden) yang dihasilkan partai politik peserta pemilihan umum," kata Refly, dalam surat permohonan, dikutip Kompas.com, Selasa (14/12/2021).

Selain itu, menurut Refly, kondisi faktual pada Pilpres 2019 di mana pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik dan adanya polarisasi politik yang kuat, dapat menjadi alasan MK untuk memutuskan bahwa ambang batas presiden tidak relevan lagi.

Ia menuturkan, masalah ambang batas presiden merupakan masalah pokok utama terkait pengembangan demokrasi di masa mendatang.

Hal senada disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) LaNyalla Mahmud Mattalitti.

Dalam pertemuannya dengan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, ia menyampaikan DPD sedang menggugat ketentuan ambang batas presiden agar menjadi 0 persen ke MK.

Adapun gugatan terhadap ketentuan Pasal 222 UU Nomor 7/2017 itu dilayangkan dua anggota DPD, Fachrul Razi dan Bustami Zainudin.

"Presidential threshold setinggi itu akan membuka lahirnya calon presiden boneka. Kemudian pasti akan ada kompromi-kompromi politik," kata LaNyalla dalam keterangannya, Selasa (14/12/2021).

Baca juga: Singgung Presidential Threshold 20 Persen Saat Bertemu KPK, LaNyalla: Buka Lahirnya Calon Presiden Boneka

Selain itu, LaNyalla menilai ambang batas presiden 20 persen berpotensi menyebabkan konflik yang tajam di masyarakat.

Kemudian, membuat makin sedikit calon pemimpin yang bisa diusung. Padahal, kata LaNyalla, banyak sekali anak-anak bangsa yang bisa maju sebagai pemimpin.

"Tapi karena ada ambang batas itu jadi tidak bisa. Jadi tertutup sudah," katanya.

Firli Bahuri sepakat soal ambang batas pencalonan presiden yang dinilai terlalu tinggi. Namun, kata dia, KPK memandang dari sisi potensi tindak pidana korupsi.

Menurutnya, ambang batas presiden 20 persen berpotensi melahirkan politik transaksional yang menyebabkan korupsi.

"Kalau saya memandangnya begini, di alam demokrasi saat ini dengan presidential threshold 20 persen itu biaya politik menjadi tinggi. Sangat mahal," kata dia.

Dianggap tak sesuai UUD

Berdasarkan hasil riset nasional, Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas merekomendasikan penghapusan ambang batas pencalonan presiden dan kepala daerah.

Direktur Pusako Feri Amsari berpendapat, aturan soal ambang batas pencalonan presiden yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak sejalan dengan aturan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.

"Problemnya dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, konstitusi mengatur secara tegas bahwa untuk aturan main pencalonan sudah mereka atur secara jelas. Tidak ada ambang batas pencalonan. Nol. Tidak ada ambang batas," kata Feri dalam diseminasi hasil riset nasional yang disiarkan KPU secara daring, Selasa (14/12/2021).

Baca juga: Pusako Rekomendasikan Hapus Ambang Batas Pencalonan Presiden-Kepala Daerah

Pasal 6A Ayat (2) itu berbunyi, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Menurut Feri, yang diatur secara tegas dalam UUD 1945 yaitu ambang batas bagi seorang calon presiden dan wakil presiden dapat terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Hal itu diatur dalam Pasal 6A Ayat (3).

Pasal tersebut menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

"Ini yang tidak terbedakan oleh pembentuk UU. Entah sengaja, entah karena kepentingan politik dan tidak terbedakan dengan baik oleh Mahkamah Konstitusi," ujar Feri.

"Bahkan ketika Pasal 222 UU 7/2017 disandingkan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD, MK bergeming, tetap dalam posisi menyatakan bahwa itu open legal legacy. Sampai sekarang kami bingung basis teorinya di mana," lanjutnya.

Merujuk hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Juni 2020, disebutkan perlunya pemilih diberikan banyak pilihan calon presiden.

Namun, dukungan yang kuat dari partai politik tetap tidak bisa dilupakan sebagai basis politik kekuatan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Hasil jajak pendapat juga mencatat perlu ada keberimbangan di antara kebutuhan akan dukungan partai politik yang kuat dan perlunya pemilih diberikan lebih banyak pilihan (Kompas, 29/6/2020).

Artinya, hasil jajak pendapat merekam bahwa ambang batas pemilihan presiden masih perlu untuk diterapkan pada Pemilu 2024.

Baca juga: PKS Usul Ambang Batas Pencalonan Presiden Diturunkan Jadi 10 Persen

 

Meskipun demikian, respons ini tidak tunggal karena dari kelompok responden lainnya justru berharap pemilihan presiden berikutnya bisa memunculkan lebih banyak pasangan calon.

Bagi kelompok yang setuju masih diberlakukan, ambang batas bertujuan untuk membatasi jumlah pasangan calon presiden.

Sebaliknya, bagi kelompok responden yang cenderung menganggap tidak perlu lagi diterapkan beralasan, agar pasangan calon presiden lebih banyak dan tidak dimonopoli oleh kekuatan partai politik besar atau pemenang pemilu.

Jika kembali pada konteks pemilihan presiden, secara sederhana bisa dibaca ada keinginan untuk mempertahankan agar ambang batas pemilihan presiden tetap ada, tetapi bisa jadi jangan sampai ambang batas itu justru menghalangi munculnya pasangan calon alternatif.

Ada harapan agar ambang batas pemilihan presiden bisa tetap menjamin iklim kontestasi yang sehat dengan membuka ruang bagi pemilih untuk memilih presiden yang lebih baik. Namun, banyak pihak meragukannya karena dengan ambang batas pemilihan presiden, ruang kontestasi semakin terbatas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Nasional
Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Nasional
Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Nasional
Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Nasional
PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

Nasional
Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Nasional
Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Nasional
Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Nasional
PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

Nasional
Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Nasional
Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Nasional
Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Nasional
KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

Nasional
Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com