As Sisi kembali ke meja negosiasi dengan Israel untuk mendapatkan suplai gas dari Israel.
Dengan kata lain, pipa gas dari Sinai ke Israel mau tak mau di balik arahnya, kini aliran gasnya dari Israel ke Mesir.
Situasi berbalik. Mesir kini kembali tergantung pada Israel. Lalu penguasanya kembali ke tipe semula, satu tipe dengan era Hosni, militeristik dan otoriter.
AbduL Fattah as Sisi mampu mengamankan Mesir dari Ancaman krisis plus ancaman kelompok Islam garis keras.
Meskipun tidak demokratis, kondisi tersebut memaksa Obama harus menoleransi kehadiran Abdul Fattah as Sisi, yang juga didukung oleh Tel Aviv.
Tak ada yang pernah membayangkan sebelumnya bahwa Abdul Fattah as Sisi akan berkuasa, atau Hosni akan dihantam Arab Spring atau kebangkitan dunia Arab yang membuat Gamal Mubarak gigit jari.
Pun tak terbayangkan sebelumnya bahwa Arab Spring berumur pendek, karena memberi peluang kepada kelompok Islam garis keras seperti Muslim Brotherhood yang ternyata kurang cocok dengan peta geopolitik yang ada.
Imajinasi yang sama berlaku pada Perancis sebelum diinvasi oleh Adolf Hitler, misalnya.
Maginot Line membuat Perancis merasa nyaman bahwa Jerman tidak akan mampu menembus garis pertahanan Perancis untuk kedua kalinya (setelah perang dunia pertama).
Tapi Hitler memilih jalan lain di luar bayangan Perancis, yakni hutan lebat Ardenesse dengan sokongan pil "pemberani" alias Pervitin alias sabu-sabu.
Perancis pun takluk oleh pasukan Hitler.
Hal-hal tak terbayangkan tersebut bukan sesuatu yang baru. Di Indonesia, nama Soeharto bukanlah nama tenar di tahun 1950-an-1960-an.
Tapi nama itulah yang muncul kemudian sebagai penerus kekuasaan Soekarno setelah peritiwa berdarah 1965.
Bahkan, Angela Merkel tak pernah bermimpi menjadi kanselir Jerman sebelum tembok Berlin runtuh.
Ketika itu Angela hanyalah seorang doktor fisika yang menghabiskan waktunya di laboratorium.
Pun Donald Trump, Jokowi, kembalinya Mahathir Muhamad beberapa waktu lalu, plus kembalinya Joe Biden pada tahun 2020. Semuanya di luar radar proyektif kita.
Jadi jika dikaitkan dengan pilpres 2024, bagi para calon presiden atau para tokoh yang sedang meniti jalan menuju Istana Negara, tapi kalah berisik dibanding tokoh-tokoh utama yang sedang memainkan drama politik hari ini, jangan berkecil hati.
Teruskan mengukir prestasi dan memainkan kartu politik "kebaikan". Sejatinya tak ada yang benar-benar mengetahui apa yang akan terjadi nanti tahun 2024.
Jika sejarah berkehendak, panggilan tentu akan segera datang.
Calon-calon yang benar-benar merepresentasikan ke-Indonesia-an, yang pluralis dan berlatarkan keelokan sikap politik ala dunia timur, yang tidak mengandalkan politik identitas dalam menggelorakan semangat pemilihnya, bersiap-siaplah untuk menjadi nakhoda Indonesia menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik dan beradab ke depannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.