Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengacara Nilai Tuntutan Hukuman Mati untuk Heru Hidayat Berlebihan

Kompas.com - 07/12/2021, 06:07 WIB
Tatang Guritno,
Krisiandi

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Kuasa hukum terdakwa kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang di PT Asabri Heru Hidayat, Kresna Hutahuruk menilai tuntutan hukuman mati yang diberikan pada kliennya berlebihan.

Kresna menilai tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) tidak sesuai dakwaan.

Sebab Heru didakwa dengan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001.

Pasal itu, lanjut Kresna, tidak mengatur tentang pemberian hukuman mati.

Baca juga: Kasus Korupsi Asabri, Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati

“Sedangkan hukuman mati diatur dalam Pasal 2 Ayat (2). Sehingga bagaimana mungkin jaksa menuntut Heru Hidayat di luar pasal yang ada di dakwaan,” sebut Kresna ditemui pasca persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (6/12/2021).

Kresna menyebut tuntutan jaksa dipaksakan karena dalam Pasal 2 Ayat (2) UU Nomor 30 Tahun 1999, syarat penerapan hukuman mati adalah negara dalam keadaan bencana alam, krisis moneter, dan pengulangan tindak pidana.

Dalam pandangan Kresna tindak pidana Heru Hidayat bukan pengulangan karena mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pengulangan tindak pidana adalah kondisi ketika seseorang telah dijatuhi hukuman pidana lalu masih melakukan tindak pidana lainnya.

“Perkara Asabri yang didakwakan JPU adalah tahun 2012-2019, sebelum Heru Hidayat dihukum kasus Asuransi Jiwasraya,” tutur dia.

Lebih lanjut, Kresna menilai kerugian negara yang dinikmati Heru Hidayat senilai Rp 12,6 triliun tidak terbukti.

“Heru Hidayat juga tidak terbukti memberikan sesuatu pada pejabat Asabri,” kata dia.

Kuasa hukum terdakwa kasus dugaan korupsi dan tindak pencucian uang di PT Asabri Heru Hidayat, Kresna Hutahuruk ditemui pasca sidang tuntutan di PengadilannTindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (6/12/2021). KOMPAS.com/ Tatang Guritno Kuasa hukum terdakwa kasus dugaan korupsi dan tindak pencucian uang di PT Asabri Heru Hidayat, Kresna Hutahuruk ditemui pasca sidang tuntutan di PengadilannTindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (6/12/2021).
Terakhir, Kresna mengungkapkan bahwa tuntutan JPU pada kliennya merupakan tindakan abuse of power.

“Karena tuntutannya diluar dakwaan dan jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, serta di luar wewenang JPU,” pungkasnya.

Dalam perkara ini jaksa menuntut Heru Hidayat yang merupakan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman mati.

Jaksa menilai hukuman mati layak diberikan karena jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh tindakan korupsi Heru Hidayat di luar akal sehat dan mencederai rasa keadilan.

Kerugian negara pada kasus ini ditaksir mencapai Rp 22,7 triliun. Sementara jaksa menyebut Heru Hidayat menikmati Rp 12,6 triliun.

Dalam dakwaan disebutkan PT Asabri melakukan investasi dalam bentuk saham dan reksadana sejak tahun 2012-2019 pada sejumlah pihak yang terafiliasi dengan Benny Tjokro dan Heru Hidayat.

Baca juga: Ini Alasan Jaksa Tuntut Hukuman Mati Terdakwa Asabri Heru Hidayat

Namun pembelian saham dilakukan tanpa disertai analisis funfamental dan teknis, serta hanya formalitas.

Benny Tjokro merupakan Direktur PT Hanson International yang juga berstatus terdakwa dalam perkara ini.

Benny Tjokro dan Heru Hidayat juga diduga turut melakukan pengelolaan dan penempatan investasi PT Asabri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Kenaikan Pangkat TNI: 8 Perwira Pecah Bintang, Kabais Resmi Berpangkat Letjen

Nasional
JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin 'Merampok'

JK Nilai Konflik Papua terjadi karena Pemerintah Dianggap Ingin "Merampok"

Nasional
Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Biasa Koordinasi dengan PPATK, Dewas Nilai Laporan Wakil Ketua KPK Aneh

Nasional
Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Kementerian KP Luncurkan Pilot Project Budi Daya Udang Tradisional Plus di Sulsel

Nasional
Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Soal PDI-P Tak Hadiri Penetapan Prabowo-Gibran, Djarot Bilang Tidak Tahu

Nasional
Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Rencana Revisi, DPR Ingin Sirekap dan Digitalisasi Pemilu Diatur UU

Nasional
BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

BKKBN Minta Bocah 7 Tahun Sudah Tunangan Tak Dianggap Biasa

Nasional
Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Terungkap di Sidang, Biaya Ultah Cucu SYL Di-“reimburse” ke Kementan

Nasional
Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Tanggapi Jokowi, Djarot PDI-P: Konstitusi Dilanggar dan Direkayasa, Kekaderannya Patut Diragukan

Nasional
Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Akan Gelar Operasi Puri Agung 2024, Kawal World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Prabowo Guncangkan Badan Surya Paloh, Sama seperti Anies Kemarin

Nasional
Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Kasus Dana PEN, Eks Bupati Muna Divonis 3 Tahun Bui

Nasional
Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Surya Paloh Bakal Bertemu Prabowo Sore Ini, Nasdem Belum Ambil Keputusan

Nasional
Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Jalankan Amanah Donatur, Dompet Dhuafa Berbagi Parsel Ramadhan untuk Warga Palestina

Nasional
Wapres Sebut Target Penurunan 'Stunting' Akan Dievaluasi

Wapres Sebut Target Penurunan "Stunting" Akan Dievaluasi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com