Keputusan itu datang dari PCA di bawah UNCLOS, di mana baik Tiongkok dan Filipina ikut menandatanganinya.
Hasil keputusan PCA menyebutkan bahwa Tiongkok tidak memiliki bukti yang kuat untuk melakukan klaim atas kepemilikan sebagian besar (90 persen) wilayah Laut Tiongkok Selatan.
Dengan demikian, keberatan Filipina soal klaim kepemilikan sebagian wilayahnya oleh Tiongkok terbukti benar.
Merujuk pada keputusan terebut, Tiongkok tidak diperbolehkan lagi melakukan kegiatan seperti penangkapan ikan, eksplorasi kekayaan alam seperti minyak dan gas alam, dan kegiatan pembangunan pulau buatan di sebagian besar wilayah-wilayah sesuai dengan peta nine-dash lines Tiongkok.
Hasil keputusan PCA ini memberikan dampak besar bagi posisi Indonesia.
Selama ini, praktis Indonesia memainkan peranan yang netral terkait sengketa kepemilikan Laut Tiongkok Selatan, antara Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara seperti Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Masih tertanam dengan baik ingatan akan insiden yang terjadi di Laut Natuna antara kapal-kapal Angkatan Laut Republik Indonesia dengan kapal penangkap ikan Tiongkok yang ‘dijaga’ oleh kapal patroli Tiongkok.
Setidaknya ada tiga insiden yang dianggap oleh Indonesia sebagai pelanggaran batas-batas wilayah oleh nelayan Tiongkok, yakni pada 19 Maret 2016, 27 Mei 2016, dan terakhir pada 17 Juni 2016.
Insiden itu kemudian berakhir dengan kunjungan kerja Presiden Joko Widodo diikuti dengan rapat terbatas di atas KRI Imam Bonjol pada 23 Juni 2016.
Kunjungan ini sekaligus dianggap sebagai pernyataan tegas Indonesia bahwa Laut Natuna adalah bagian dari wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sesuai dengan aturan hukum laut internasional UNCLOS.
Menyikapi surat protes Tiongkok, setidaknya ada dua hal yang dapat dilakukan dengan memperhatikan pertimbangan politik (political consideration) dan kepentingan ekonomi (economic interest) Indonesia.
Dalam konteks politik, Indonesia sebagai salah satu negara besar di Asia Tenggara dapat memainkan perannya sebagai salah satu mitra strategis Tiongkok.
Indonesia dapat berperan menahan negara-negara anggota ASEAN yang memiliki klaim yang sama seperti Malaysia, Brunei Darussalam, dan Vietnam agar tidak bersikap reaktif terkait sengketa Laut Tiongkok Selatan.
Langkah itu untuk menjaga suasana kondusif dan damai di Laut Tiongkok Selatan.
Hal tersebut telah dibuktikan melihat peran Indonesia dalam mencapai kesepakatan mengenai Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DoC) pada tahun 2002.
Kemudian diikuti dengan negosiasi mengenai Code of Conduct (CoC) yang mengutamakan penyelesaian damai atas sengketa Laut Tiongkok Selatan.
Indonesia dapat memainkan posisi trategisnya dengan konsep politik bebas-aktif dalam menjadi penyeimbang (middle power) persaingan politik global antara Tiongkok dan Amerika Serikat terutama di kawasan Indo-Pasifik.
Pembentukan aliansi Quadrilateral Security Dialogue (Quad) oleh AS, India, Australia, dan Jepang serta kerjasama pertahanan AUKUS oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Australia memang secara kental dibentuk untuk menangkal dominasi Tiongkok, baik secara internasional maupun regional.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.