"Jadi langkah maju ini masih sangat perlu dikawal ketat ke depannya," Pretty.
Di sisi lain, Pretty berpandangan, perlu disiapkan koordinasi erat antara penyidik dan penyelidik.
Sebab, ia mengkhawatirkan upaya hukum penuntasan kasus pelanggaran HAM berat kali ini terkait kepentingan politik.
"Kita sudah belajar dari tiga pengadilan pelanggaran HAM berat yang terdahulu bahwa ketika proses penyidikan cacat, kegagalannya berujung pada penuntutan yang gagal menghadirkan kesaksian dan dokumen-dokumen yang penting," kata Pretty.
Baca juga: Utang yang Tak Kunjung Lunas: Pelanggaran HAM Berat pada Masa Lalu
Merujuk upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM berat yang pernah dilakukan, ia menyatakan, kegagalan upaya penuntutan menempatkan peristiwa yang terjadi gagal pula dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat.
Sejalan dengan itu, kegagalan penuntutan ini membuyarkan pertanggungjawaban komando dan juga gagal mengungkap pelanggaran HAM yang terjadi akibat kebijakan negara pada masa itu.
Diketahui, Indonesia pernah menggelar pengadilan HAM ad hoc atas kasus Timor Timur tahun 1999, kasus Tanjung Priok 1984 dan peristiwa Abepura 2000.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.