JAKARTA, KOMPAS.com - Empat hakim, termasuk Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, menyatakan opini yang berbeda (dissenting opinion) terhadap putusan sidang uji formil Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat pada Kamis (25/11/2021).
Selain Anwar, tiga hakim konstitusi lainnya yang menyatakan dissenting opinion ialah Arief Hidayat, Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Adapun alasan keempat hakim konstitusi itu menyatakan dissenting opinion karena menilai pembentukan UU Cipta Kerja dengan metode omnibus law yang menjadi permasalahan sedianya merupakan suatu terobosan hukum yang boleh dilakukan.
Baca juga: MK Sebut Pembentuk UU Bisa Kaji Ulang Pasal-pasal UU Cipta Kerja yang Dipersoalkan Masyarakat
Mereka menilai dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pun tidak secara eksplisit mengatur, membolehkan, atau melarang metode omnibus law.
"Dengan begitu, meskipun tidak didahului perubahan terhadap Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, namun pada dasarnya hukum dalam menggunakan metode omnibus law adalah boleh dan tidak dilarang," demikian bunyi poin dissenting opinion.
Mereka pun menilai, metode omnibus law telah digunakan dalam pembentukan undang-undang di Indonesia, yaitu UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 192 yang mencabut 15 peraturan perundang-undangan dan menyatakan tidak berlaku.
Kemudian UU Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Pasal 43 yang mencabut 17 undang-undang dan menyatakan tidak berlaku.
Selanjutnya UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum Pasal 571 yang mencabut tiga undang-undang dan menyatakan tidak berlaku.
Baca juga: MK: UU Cipta Kerja Batal Sepenuhnya Bila Tak Selesai Diperbaiki dalam 2 Tahun
UU ini telah menggabungkan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
"Dari praktik di atas, pada dasarnya metode omnibus law bukanlah hal yang baru diterapkan dalam pembentukan undang-undang di Indonesia. Hanya saja nomenklatur “omnibus law” baru popular saat dibentuknya UU Ciptaker," lanjut bunyi poin dissenting opinion.
"Oleh karenanya tidak ada alasan untuk menolak penerapan metode omnibus law meskipun belum diatur secara eksplisit dalam undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan," demikian lanjut bunyi poin dissenting opinion keempat hakim tersebut.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.