Susahnya, agak sukar mengidentifikasi korban oligarki. Sebab yang diterjang adalah demos sebagai kesatuan politik daulat rakyat. Bukan terfragmentasi seperti model polarisasi buruh dan pengusaha misalnya.
Selain itu, dari sisi penegakan hukum, tidak sedikit pelaku korupsi diduga terafirmasi dalam jejaring oligarki.
Sebab, tidak sedikit oknum pejabat publik yang tersandung kasus korupsi memiliki latar belakang pebisnis.
Maka, penyalahgunaan kekuasaan di dalam konteks ini seringkali dalam rangka pembesaran akses bisnisnya untuk menutupi mahalnya biaya politik yang seperti sudah menjadi keniscayaan.
Tidak mudah keluar dari jeratan oligarki. Robertus Robert menawarkan penguatan demos melalui populisme. Namun, ia pun mewanti-wanti agar populisme tidak tergelincir pada isu mayoritarian sehingga menggusur esensi perjuangan demokrasi.
Apalagi jika populisme dirangkai dengan isu agama, itu akan semakin mengubur kemungkinan lolos dari oligarki.
Malah bukan mustahil, populisme berbau agama justru dimanfaatkan oleh oligark lain yang sakit hati karena tidak kebagian akses bisnis dari negara. Ujungnya sekadar transaksional.
Bagi penulis, tidak ada jalan lain untuk keluar dari oligarki selain melakukan koreksi mendasar atas sistem demokrasi.
Tidak dapat dinafikan, selama ini demokrasi pasca-reformasi cenderung terlalu berlebihan melembagakan demokrasi prosedural.
Demokrasi yang lekas puas diri apabila pemilu sudah diselenggarakan dan lembaga demokrasi seperti Mahkamah Konstitusi dan parlemen terbentuk.
Menurut penulis, demokrasi harus didesak ke arah substansial di mana kesadaran kritis warga harus dibangun. Dengan daya kritis ini warga mampu memberdayakan dirinya untuk tidak mudah tergiur praktik-praktik pengkhianatan demokrasi, semisal politik uang.
Demikian pula perlu dipikirkan agar biaya politik dapat ditekan. Sistem kepartaian disederhanakan. Negara menanggung biaya kepartaian.
Dengan begitu, para kader partai tidak perlu lagi memikirkan dana untuk disisihkan pada partai. Termasuk segala tetek bengek terkait biaya pencalonan dirinya ketika hendak mengisi jabatan publik.
Kader partai cukup fokus mengkontestasikan gagasan, pemikiran, dan integritasnya untuk dapat diwakafkan di arena politik.
Dengan begitu, politik bisa kembali pada hakikat maknanya sebagai upaya mengelola negara untuk mencapaikan kebaikan bersama. Bukan kebaikan segelintir atau sebatas kerabat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.