Oleh: Richo Andi Wibowo
DALAM sebulan terakhir, publik mendengar dua kali berita negatif terkait akhir dari proyek pembangunan infrastruktur. Terdapat benang merah dari keduanya yakni pelanggaran asas hukum kehati-hatian dan aspek hukum perencanaan.
Mengingat polanya sama, maka boleh jadi kelak publik akan mendengar kabar buruk serupa. Masyarakat perlu mendesak pemerintah untuk tidak gegabah membangun infrastruktur, termasuk meminta pembatalan proyek pindah ibu kota negara (IKN).
Berita negatif yang pertama adalah proyek kereta api cepat Jakarta Bandung. Dari perspektif hukum, proyek ini dapat dipertanyakan karena tidak ter-list pada Perpres No 2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 - 2019.
Baca juga: Yusril: Kereta Api Cepat Tidak Efisien, Habiskan Rp 78 Triliun dan Utang ke China
Memang benar bahwa tidak ada larangan yang zakelijk bagi Pemerintah untuk menyimpangi perencanaan yang telah ia susun sebelumnya, perubahan dari perencanaan memang diperbolehkan.
Namun, perubahan tersebut harus tetap mengindahkan kepastian hukum dan melayani tujuan yang telah ditetapkan (Buitelaar, Galle and Sorel, 2011).
Masalahnya adalah tujuan yang ditetapkan tidaklah terlayani, karena yang diamanatkan dalam Perpres tersebut adalah: (i) membangun konektivitas menuju pelabuhan dan bandara internasional, serta (i) membangun kereta api di luar jawa (vide: Buku I, bagian 6 – 89 sd 90; Buku II, bagian 9-19; Buku III, bagian 2-14).
Apalagi, pembangunan ini dapat dipertanyakan urgensinya; pilihan transportasi dari Jakarta ke Bandung sudah banyak, dan diragukan apakah kereta cepat diperlukan untuk memfasilitasi jarak yang hanya 150-an KM.
Lebih dari itu, proyek ini membengkak nyaris 25 persen atau jika dirupiahkan mencapai Rp. 27,17 Triliun. Mayoritas pembengkakan ini akibat miskalkulasi relokasi lahan dan utilitas publik. Kejadian ini mengindikasikan bahwa asas kehati-hatian telah terabaikan.
Pembengkakan biaya ini berimplikasi pada dipertanyakannya akuntabilitas penentuan pemenang proyek. Baik pemenang maupun pemerintah sama sama dianggap tidak cermat menghitung perencanaan.
Selain itu, legalitas tindakan pemerintah yang terjadi di belakangan hari juga semakin dipertanyakan. Sebelumnya, Pemerintah mengatakan bahwa proyek ini tidak akan membebani APBN karena di-handle dengan menugaskan beberapa BUMN untuk melakukan business to business dengan mitra (Pasal 4 ayat 2 Perpres 107/2015).
Baca juga: Erick Thohir Ingin Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung Dilanjutkan hingga Surabaya
Namun karena biaya proyek membengkak, pemerintah mengubah regulasi sebagai payung hukum untuk menggelontorkan APBN dengan cara penyertaan modal dan memberikan jaminan jika konsorsium BUMN ingin mencari hutang (Pasal 3A ayat (2) (b) Perpres 93/2021).
Padahal, alasan pemerintah kala itu memilih pemenang (konsorsium BUMN China) karena mereka tidak mensyaratkan dana dan jaminan dari Pemerintah.
Berita negatif yang kedua adalah kegagalan pembangunan bandara Jenderal Besar Sudirman di Kabupaten Purbalingga. Bandara ini telah terbangun dan beroperasi sejak awal Juni 2021.
Namun dapat disebut gagal karena sekarang bandara ini sudah tidak melayani lagi penerbangan dari maskapai apapun. Satu satunya maskapai yang melayani, Citilink, belum lama ini memutuskan untuk menghentikan operasinya karena amat rendahnya minat masyarakat.
Bisa saja sebagian pihak menuding pandemi corona sebagai sumber permasalahan. Namun patut diragukan apakah tudingan tersebut akurat.
Hal ini karena penghentian operasi justru terjadi saat pemerintah melonggarkan aktivitas masyarakat karena pandemi dianggap telah terkendali.
Dengan kata lain, permasalahan lebih pada keraguan apakah pembangunan bandara telah didasari kajian yang matang. Akibatnya, uang rakyat dibelanjakan untuk membangun sesuatu yang tidak diperlukan masyarakat.
Baca juga: Nasib Kereta Cepat: Molor, Biaya Bengkak, Ratusan Ton Besinya Dicuri
Selain itu, diduga terdapat pelanggaran aspek hukum perencanaan pada pembangunan Bandara JB Sudirman. Bandara ini tiba tiba disebut pada lampiran III Perpres 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024 dengan nomenklatur “Pengembangan” Bandara.
Dikatakan “tiba tiba”, karena bandara ini mulai dibangun sejak tahun 2019, padahal pembangunan ini tidak masuk list Perpres 2/2015 tentang RPJMN 2015-2019.
Patut dikhawatirkan bahwa ini adalah indikasi bahwa keputusan pembangunan bandara dilakukan dengan instan; bukan produk dari perencanaan jangka menengah.
Berkaca dari hal di atas, Pemerintah Indonesia perlu lebih waspada dalam merencanakan dan mengerjakan proyek infrastruktur bernilai jumbo, seperti proyek pemindahan ibu kota (IKN) ke Kalimantan Timur yang bernilai Rp 466 Triliun.
Pemerintah berulang kali menenangkan masyarakat agar jangan khawatir karena proyek IKN tidak akan membebani APBN; mayoritas skema pendanaan akan dilakukan dengan skema Kerjasama pemerintah Badan Usaha (KPBU), swasta, dan penugasan BUMN.
Namun bagaimana jika pemerintah kembali miskalkulasi? Proyek IKN bernasib sama dengan proyek kereta cepat?
Publik juga perlu waspada dengan narasi informasi Pemerintah. Membangun dengan KPBU bukan berarti APBN tidak akan terdampak.
Pemerintah tetap akan perlu melakukan pembayaran secara periodik dan dalam jangka panjang kepada mitra atau investor sebagai kontra prestasi atas tersedianya infrastruktur.
Publik juga perlu gusar karena proyek IKN juga tampak disusun buru-buru. Proyek ini tidak disebut dalam Perpres 02/2015 tentang RPJMN 2015-2019. Bahkan buku 3 RPJMN tersebut justru menjelaskan bahwa agenda pembangunan adalah mendesain Kalimantan sebagai pusat paru-paru dunia dan sentra lumbung pangan.
Benar bahwa Perpres No 18/2020 tentang RPJMN 2020-2024 akhirnya menegaskan tentang rencana perpindahan ibu kota ke Kalimantan. Namun Presiden sudah menetapkan perpindahan tersebut pada 26 Agustus 2019, jauh waktu sebelum Perpres 18/202 lahir.
Maka sudah waktunya pemerintah bijaksana. Aneka insiden negatif di atas perlu menjadi pertimbangan untuk pemerintah membatalkan proyek IKN. Jangan sampai Indonesia surplus infrastruktur yang dibangun tanpa perencanaan cermat dan hati-hati. *) Richo Andi Wibowo adalah dosen HAN FH UGM dengan minat riset kontrak pemerintah dan pencegahan patologi birokrasi.
Baca juga: Jalur Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung Rawan Pergerakan Tanah