Lebih lanjut, ia menyebut, melalui pencegahan dalam permendikbud ini, maka hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui banyak orang mengenai perilaku kekerasan seksual bisa semakin diketahui.
"Kita anggap gurauan bagi seseorang itu mungkin sangat sensitif dan bisa menjadi beban psikologis, di-bully dan sebagainya. Itu sementara kita mungkin dianggap biasa dan lumrah," ujar Nizam.
"Colek-colek misalnya dianggap sesuatu yang lumrah. Padahal itu adalah bagian dari sexual harassment," kata dia.
Adapun, Permendikbud Ristek 30/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi diterbitkan pada 31 Agustus 2021.
Baca juga: Usul Nama RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual Diubah, Ini Masukan Fraksi PKS dan PPP
Dalam beleid ini mengatur sejumlah aturan terkait pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, pemberian sanksi kepada pelaku, serta bentuk-bentuk kekerasan seksual.
Di dalam beleid ini yang dimaksud ranah kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, serta melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam Pasal 5, setidaknya ada 21 bentuk kekerasan seksual yang secara tegas diatur dalam aturan tersebut.
Beberapa di antaranya berupa melakukan tindakan kekerasan seksual yang tidak mendapatkan persetujuan (consent) korban.
Kemudian, tindakan diskriminasi atau pelecehan yang berintensi seksual, baik melalui ujaran, tatapan, ataupun virtual.
Hingga tindakan memaksa serta memperdayai korban untuk melakukan aktivitas seksual hingga melakukan aborsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.