Sangat bisa dipahami mengapa kemudian di pemilihan-pemilihan terdahulu sering mencuat ketakutan yang disuarakan beberapa pihak tentang kecenderung fasis atau ultranasional dari kubu Prabowo. Walaupun sebenarnya boleh jadi karakter, platform, dan ideologi Prabowo tidaklah demikian.
Anies Baswedan pun sama. Kemenangan Anies di Pilkada Jakarta tak jarang dikaitkan orang dengan Gerakan 212 dan Islam Politik yang sedikit lebih garang ketimbang politik Islam pada umumnya.
Entah hanya sekadar memanfaatkan momen atau memang ikut terlibat di dalamnya, citra Anies atas sepak terjang Islam garis keras tersebut masih melekat sampai hari ini dan masih disebut-sebut oleh para pendukung lawan politik Anies di ruang publik.
Ini yang berpeluang meningkatkan angka antipati pemilih pada Anies di pemilihan 2024 nanti.
Sementara Ganjar Pranowo, berada pada posisi yang serba moderat. Ganjar adalah kader PDIP, tapi bukan trah Soekarno. Persis seperti Jokowi, bukan trah Soekarno.
Posisi tersebut membuat Ganjar lebih berpeluang diterima dengan mudah oleh kelompok-kelompok lain di luar pengikut Soekarnois.
Dengan kata lain, merahnya ideologi Ganjar merupakan merah pelengkap warna putih, yang mudah dijahit menjadi bendera merah putih.
Sementara, sebagian kelompok merah, baik di PDIP maupun di luar PDIP, cenderung sangat antipati kepada "putih", bahkan cenderung sangat "hostile" kepada "putih", sehingga sulit dijahit menjadi merah putih, yang menjadi dua warna tak terpisahkan dari Indonesia.
Rekam jejak Ganjar menunjukkan itu dengan jelas bahwa Ganjar sebagai tokoh politik maupun sebagai gubernur belum pernah memperlihatkan tendensi ekstrem yang membuatnya sulit diterima oleh kalangan tertentu
Ganjar terlihat sangat pas di saat melekat dengan pakaian adat daerahnya. Ganjar pun terlihat sangat alim di saat berbalut baju koko. Dan tak lupa, terlihat sangat nasionalis di saat berpakaian dinas gubernur atau berpakaian resmi kenegaraan.
Kondisi ini berbeda dengan beberapa tokoh lain yang justru dicibir oleh publik di saat menggunakan pernak-pernik yang bukan bagian dari platform politiknya.
Sebut saja misalnya Puan Maharani saat berpakaian muslim, misalnya. Jika gambar tersebut muncul di platform media sosial, hampir pasti dikomentari secara dikotomis oleh netizen alias tidak diterima secara padu.
Atau foto terakhir beberapa waktu lalau saat Puan Maharani ikut menanam padi di sawah. Tidak saja netizen yang pro-kontra, politisi pun ikut memberi komentar sinis.
Kondisinya akan sangat berbeda di saat Ganjar di posisi yang sama. Karena bagaimanapun, bagi pemilih yang terbiasa melihat atau menonton postingan-postingan pribadi Ganjar, fenomena semacam itu sudah menjadi keseharian Ganjar Pranowo sebagai seorang gubernur.
Bertemu langsung dengan masyarakat, bercengkrama dengan masyarakat, berkunjung ke rumah masyarakat, dan berbagai bentuk sentuhan langsung lainnya, rasanya sudah menjadi makanan sehari-hari Ganjar, yang nyaris sulit ditanggapi secara sinis oleh publik.