JAKARTA, KOMPAS.com – Koalisi Perempuan Indonesia menyayangkan adanya respons yang menganggap Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, melegalkan zina.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati mengatakan, pihaknya tidak menemukan adanya klausul dalam aturan tersebut yang berpotensi melegalkan zina.
“Karena menurut Koalisi Perempuan Indonesia, zina dan kekerasan seksual itu sesuatu hal yang berbeda ya, dan tidak bisa dicampuradukkan gitu ya,” kata Mike kepada Kompas.com, Rabu (10/11/2021).
Mike berpendapat, “consent” dalam Permendikbud Ristek 30/2021 harus dimaknai dalam ranah kekerasan seksual.
Sementara itu, kegiatan atau aktivitas seksual lainnya atau zina yang mungkin dilakukan oleh warga di sekitar kampus diatur dalam kebijakan lain.
Ia berpandangan, Permendikbud Ristek 30/2021 ini hanya mengatur terkait penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
“Zina diatur oleh aturan-aturan lainnya seperti mungkin yang tertera di KUHP dan yang lain, gunakan itu, tidak ada hubungannya dengan permendikbud ini dan zina itu bukan area yang sedang diatur dalam Permendikbud ini,” tegas Mike.
Lebih lanjut, ia mengapresiasi Mendikbud Ristek Nadiem Makarim yang menerbitkan kebijakan ini.
Menurut dia, beleid ini adalah langkah maju di tengah tidak adanya pegangan kebijakan terkait kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Mike juga berharap, langkah ini dapat menjadi contoh bagi kementerian/lembaga lain untuk membuat kebijakan serupa.
“Kita tahu kekerasan seksual itu bukan hanya ada di dunia pendidikan ya, kita tahu di sektor publik juga ada, di tempat kerja, bahkan juga di fasilitas-fasilitas umum transportasi publik dan juga mungkin di jalan ya atau yang lain-lainnya,” ucap dia.
Diketahui, Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 telah diterbitkan Mendikbud Ristek Nadiem Makarim pada 31 Agustus 2021.
Kendati mendapat apresiasi, permendikbud ristek ini juga dikritik karena dinilai cacat formil dan materil.
Salah satu kecacatan materil, menurutnya, terletak dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat consent dalam bentuk frasa ”tanpa persetujuan korban”.
Baca juga: Permendikbud PPKS Timbulkan Pro-Kontra, Menteri Nadiem Disarankan Buka Ruang Dialog
“Pasal 5 Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” kata Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad dalam keterangan tertulis, Senin (8/11/2021).