JAKARTA, KOMPAS.com – Kekerasan seksual masih menjadi salah satu persoalan di lingkungan pendidikan.
Pada Kamis (20/2/2020), Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim mengakui ada tiga "dosa besar" di dunia pendidikan, yakni radikalisme, perundungan, dan kekerasan seksual.
Kini, Nadiem menerbitkan Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi pada 31 Agustus 2021.
Baca juga: LBH APIK: Perlu Ada Mekanisme Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus
Kebijakan ini ditujukan sebagai pedoman bagi pihak kampus dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual.
Banyak pihak perguruan tinggi yang mengapresiasi dan menindaklanjuti isi dari beleid tersebut. Namun, ada juga pihak yang menilai isi dari Permendikbud 30/2021 perlu direvisi.
Dinilai melegalkan seks bebas
Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah Lincolin Arsyad berpendapat, Permendikbud Ristek 30/2021 memiliki cacat materil.
Salah satu cacat materil, menurutnya, terletak dalam Pasal 5 ayat (2) yang memuat consent dalam bentuk frasa ”tanpa persetujuan korban”.
“Pasal 5 Permendikbud Ristek No 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” kata Lincolin, dalam keterangan tertulis, Senin (8/11/2021).
Baca juga: Polemik Permendikbud PPKS, LBH APIK: “Consent” Bisa Jadi Batasan Terjadinya Kekerasan Seksual
Terkait kritik tersebut, Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK, Khotimun Sutanti mengatakan, consent atau persetujuan dapat menjadi indikator menentukan suatu tindakan dikategorikan sebagai suatu kekerasan seksual atau tidak.
Khotimun mengapresiasi Permendikbud Ristek 30/2021, namun ia mendorong pemerintah menggencarkan sosialisasi agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam memaknai aturan tersebut.
“Consent bisa menjadi salah satu batasan apakah kekerasan seksual terjadi atau tidak. Jika tanpa persetujuan artinya tindakan tersebut merupakan kekerasan karena korban tidak menghendaki,” kata Khotimun kepada Kompas.com, Selasa (9/11/2021).
Khotimun mengatakan, tujuan utama dari Permendikbud Ristek 30/2021 ini adalah agar ada mekanisme untuk penegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.
Menurut dia, ranah beleid tersebut hanya membatasi soal kekerasan seksual saja, sehingga pelanggaran kode etik lain tetap dapat disanksi sesuai aturan yang berlaku.
Mendesak diterbitkan
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.