Kepolisian sebagai garda terdepan dalam sistem peradilan pidana telah menerbitkan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Baca juga: Dugaan Konten Menista Agama, Youtuber Muhammad Kece Bisa Kena UU ITE Tanpa Restorative Justice
Untuk menetapkan dapat atau tidaknya restorative justice didasarkan pada dua syarat, yakni formil dan meteriil.
Syarat formil berupa adanya perdamaian kedua belah pihak; pemenuhan hak korban serta tanggung jawab pelaku (kecuali tindak pidana narkotika).
Sedangkan persyaratan materiil berupa:
(a) tidak ada penolakan dari masyarakat atau menimbulkan kerasahan;
(b) tidak berdampak pada konflik sosial;
(c) tidak memecah belah bangsa;
(d) tidak bersifat radikal dan separatisme; dan
(e) bukan pelaku pengulangan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan.
Pelaksanaan restorative justice dapat dilakukan baik tahap penyelidikan dan penyidikan yang kemudian setelah adanya kesepakatan dilanjutkan dengan penghentian perkara.
Akan tetapi, harus ada mekanisme yang ditempuh terlebih dahulu yakni gelar perkara khusus sebagai dasar diterima atau tidaknya permohonan restorative justice.
Sedangkan Kejaksaan memiliki landasan dalam pelaksanaan restorative justice yakni Peraturan Jaksa Agung No 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Salah satu konsideran pembentukan ini adalah perkembangan konsep pemidanaan yang tidak berorientasi pada pembalasan merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat dan sebuah mekanisme yang harus dibangun dalam pelaksanaan kewenangan penuntutan dan pembaharuan sistem peradilan pidana.
Dengan adanya restorative justice ini menjadi dasar bagi Jaksa untuk melakukan penutupan perkara karena telah ada penyelesaian perkara di luar pengadilan (afdoening buiten process).
Penghentian penuntutan berdasarkan restorative justice dengan mempertimbangkan: subjek, objek, kategori, dan ancaman tindak pidana; latar belakang terjadinya dilakukannya tindak pidana; tingkat ketercelaan; kerugian atau akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana; cost and benefit penanganan perkara; pemulihan kembali pada keadaan semula; dan adanya perdamaian antara korban dan tersangka.
Kualifikasi pelaku dan kerugian dari tindak pidana yang bisa dilakukan restorative justice adalah:
(a) tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
(b) tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
(c) tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Sebagai fungsi pemutus dan pengawas dari keberlakukan criminal justice system, Mahkamah Agung juga telah mengatur mengenai mekanisme restorative justice melalui Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/DK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).
Ketentuan ini memberikan batasan (kriteria) dalam pelaksanaan restorative justice yakni dalam tindak pidana ringan pada Pasal 364, 373, 379, 384,407, dan Pasal 802 KUHP dengan nilai kerugian tidak lebih dari Rp. 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Mekanisme dalam proses restorative justice Pengadilan Negeri berkoordinasi dengan Kepala Kejaksaan Negeri dan Kepala Kepolisian Resor dalam pelaksanaan pelimpahan berkas.