Oleh: Agus Suntoro*
KETUA Mahkamah Agung pada 21 Oktober 2021 memberikan pembinaan teknis dan administrasi peradilan bagi pimpinan, hakim, dan aparatur pengadilan tingkat banding dan pertama pada empat lingkungan peradilan seluruh Indonesia.
Salah satu substansi pokok dalam pembinaan tersebut adalah penerapan mekanisme untuk mencapai keadilan restoratif (restorative justice) di pengadilan.
Praktik restorative justice selama ini memiliki landasan hukum Surat Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum Nomor 1691/DJU/DK/PS.00/12/2020 tanggal 22 Desember 2020 tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).
Konsep atau filosofi restorative justice muncul pada tahun 1970-an dan 1980-an di Amerika Serikat dan Kanada, bersamaan dengan bentuk praktik yang kemudian disebut sebagai Victim Offender Reconciliation Program (VORP).
Program VORP dalam pandangan Tony Dittenhoffe dalam The Victim/Offender Reconciliation Program: a Message To Correctional Reformers (1983) merupakan pembaruan ide dari metode tradisional dalam menangani pelaku dan korban.
Gagasan VORP adalah membangun kembali kesimbangan dalam hubungan dan mendorong pemulihan. Dengan demikian maka yang menjadi tujuan utama adalah membangun konsep (program) yang adil dan menekankan bahwa pemulihan ini tidak dilakukan semata-mata didasarkan pada “jumlah dollar yang ditempatkan di tangan para korban”.
Sementara, Gerry Jhonston dan Daniel W Vann Nes (2011) dalam The Meaning of Restorative Justice menyebut bahwa gerakan restorative justice telah mengalami kemajuan dengan memfokuskan upayanya pada perubahan sebagai respons sosial terhadap kejahatan dan pelanggaran.
Baca juga: Kasus Ayah Curi Getah demi Beli Susu untuk 2 Anaknya Dihentikan, Kejari: Restorative Justice
Energi awalnya difokuskan pada respons sosial revolusioner terhadap perilaku yang diklasifikasikan sebagai kejahatan dan yang dianggap cukup berbahaya untuk diintervensi oleh lembaga peradilan pidana seperti polisi dan lembaga pemasyarakatan.
Kini, restorative justice telah menjadi bagian dari dialog tentang bagaimana melakukan keadilan setelah konflik dan pelanggaran sosial berskala besar.
Howard Zehr dan Ali Gohar (2003) dalam The Little Book of Restorative Justice merumuskan lima prinsip yang harus dilakukan untuk suksesnya pelaksanaan restorative justice, yakni:
(a) berfokus pada kerugian dan kebutuhan konsekuen yakni korban, tetapi juga masyarakat dan pelaku;
(b) mengatasi kewajiban yang diakibatkan oleh kerugian tersebut, baik pelanggar tetapi juga keluarga, komunitas dan masyarakat;
(c) menggunakan proses kolaboratif yang inklusif;
(d) melibatkan mereka yang memiliki kepentingan sah dalam situasi tersebut baik korban, pelaku, keluarga, anggota masyarakat, masyarakat; dan
(e) berusaha untuk memperbaiki kesalahan.
Dengan demikian, restorative justice merupakan perubahan dari konsep retributif yang menilai bahwa masalah kejahatan dianggap domain negara semata, menjadi pelibatan atau hak para pihak misalnya korban, pelaku, komunitas untuk berpartisipasi dalam upaya penyelesaiannya.
Oleh karena itu, perlu energi bersama untuk mencari penyelesaian, memperbaiki kerusakan, termasuk membuka ruang untuk meminta maaf dan memberikan maaf.
Baca juga: Kasus David NOAH, Polisi Upayakan Restorative Justice
Dalam sistem penegakan hukum pidana, konspesi restorative justice telah mulai diimplementasikan. Tiga struktur utama dalam penegakan hukum baik Kepolisian, Kejaksaan dan Mahkamah Agung telah memiliki landasan hukum masing-masing dalam penerapannya.
Tentunya dalam hal mekanisme, model, klasifikasi tindak pidana, dan tata cara bisa berbeda. Akan tetapi, semangatnya adalah berfokus pada perubahan pidana menjadi dialog atau mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, atau pihak lain yang terkait.
Mekanisme ini dilakukan untuk menciptakan alternatif penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang dengan memfokuskan pada upaya pemulihan dan reintegrasi kembali hubungan masyarakat.
Tanpa kerjasama antara korban dan saksi, sistem peradilan pidana tetap akan berfungsi, akan tetapi individu-individu ini diabaikan oleh sistem peradilan pidana atau hanya digunakan sebagai alat untuk mengidentifikasi dan menghukum pelanggar atau pelaku kejahatan.