Dengan begitu, ini akan lebih fair dibanding, misalnya, melihatnya dari perspektif politik dan kekuasaan.
Dari sejumlah kaidah ushul yang tersedia, kaidah di bawah ini bisa dijadikan landasan. Kaidah ini biasa digunakan untuk memahami maksud, tujuan dan arah ayat Alquran atau Hadits Nabi tentang suatu perkara.
Lebih dari itu, juga biasa digunakan dalam pergaulan sehari-hari. Hanya saja, karena tidak setiap berwacana kita membutuhkan kaidah, maka sering pula kita tidak menyadari bahwa sejatinya kita tengah mempraktekkan kaidah ini.
Kaidah itu berbunyi :
"Al 'Ibrotu Bi 'Umuumil Lafdzi Laa Bi Khushuushis Sababi"
Artinya: "Pelajaran diambil dari keumuman lafadz, bukan dari kekhususan sebab."
Misal, salah seorang anggota keluarga mendapat penghargaan karena prestasi akademik, organisasi, atau pekerjaan. Meski yang berprestasi hanya salah seorang dari anggota keluarga, tapi penghargaan dapat disebut sebagai keberhasilan semua anggota keluarga.
Prestasi itu dihasilkan oleh satu orang tapi kebanggaan untuk semua. "Terima kasih, De. Prestasimu adalah milik kami juga," sambut sang ayah di tasyakuran keluarga.
Contoh lain. Di sebuah perkumpulan kepemudaan, seorang pemimpin berpidato.
"Kita bersyukur kepada Tuhan. Tuhan anugerahi kemerdekaan RI kepada perkumpulan kita."
Tidak ada yang salah dari pernyataan itu. Ia mengklaim anugerah Tuhan itu hanya untuk kelompoknya.
Sebagaimana kelompok lain juga dibenarkan menggunakan klaim yang sama untuk pride. Pride potensial menumbuhkan semangat dan rasa memiliki. Tapi bukan klaim kepemilikan.
Dengan menggunakan kaidah yang sama, ulama ushul berusaha menjelaskan lalu mengambil istidlal hukum soal satu ayat Alquran yang turun terkait tindakan seorang laki-laki mencium perempuan.
Alkisah, seorang Anshar pernah mencium seorang wanita ajnabiyyah (wanita asing/bukan mahram). Maka turunlah ayat berkaitan dengan itu :
"Innal Hasanaati Yudzhibnas Sayyi-aat"
Artinya: “Sesungguhnya kebaikan-kebaikan itu menghapus kejelekan-kejelekan” [QS. Huud : 114].
Orang tersebut berkata kepada Nabi SAW, “Apakah (ayat) ini (turun) hanya untukku, wahai Rasulullah?”
Maksud perkataan sahabat ini adalah, "Apakah hukum ayat ini dikhususkan untukku karena akulah yang menjadi sebab ayat ini turun."