"Hampir setiap hari, saya menyaksikan mayat-mayat yang mengapung di Bengawan Madiun. Banyak diantaranya sudah tidak berkepala lagi. Berita yang sampai ke telinga anak-anak dan remaja seperti saya, mayat-mayat itu adalah anggota PKI atau simpatisannya. Mereka adalah “orang jahat.”
(Hermawan Sulistyo dalam Palu Arit di Ladang Tebu – Sejarah Pembantaian Massal Yang Terlupakan 1965-1966)
SETIAP mengulas topik ini saya selalu membayangkan kritik dan kecaman yang akan muncul dari pembaca. Padahal, latar belakang keluarga saya adalah dari kelompok penumpas Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ayah saya personel militer yang berasal dari salah satu batalion di Kodam VIII Brawijaya yang terlibat dalam Operasi Trisula untuk menumpas sisa-sisa gerombolan PKI di Blitar Selatan, Malang Selatan, dan Tulungagung pada 1968.
Saya lahir di 1967, sudah 5 kali menunaikan ibadah Haji dan Umroh ke Tanah Suci. Tidak ada satu pun keluarga saya terkait dengan PKI dan organisasi mantelnya.
Ketertarikan saya pada topik PKI di sekitaran Peristiwa 1965 dengan segala eksesnya lebih karena alasan kemanusiaan.
Karena bagaimana pun, penyelesaian kasus ini masih jauh dari kata tuntas dan terus meninggalkan luka di sebagian anak bangsa. Terutama kepada sanak keluarga yang terus mendapat stigma dan labeling “PKI”.
Dalam sejarah pembunuhan massal sepanjang abad ke-20, pembantaian anggota dan simpatisan PKI pada 1965-1966 adalah salah satu yang terbesar.
Kejadian ini menjadi paling sedikit dipelajari, selain langkanya sumber-sumber dan bahan kajian yang tersedia juga adanya hambatan politis untuk melakukan penelitian.
Ingatan kelam bangsa kembali terkuak usai sejumlah media asing menyoroti keterlibatan Inggris dalam pembantaian 1965-1966 setelah muncul laporan dari Observer (Kompas.com, 25/10/2021).
Bahkan The Guardian media yang terbit sejak tahun 1821 menerbitkan ulasan berdasarkan dokumen yang dideklasifikasi tentang bagaimana propaganda Perang Dingin Kementerian Luar Negeri, Departemen Riset Informasi (IRD) Inggris mengambil keuntungan dari kudeta yang gagal.
Pejabat Inggris telah mengarahkan buletin dan siaran radio yang menghasut kaum anti komunis Indonesia termasuk para jenderal TNI-AD sayap kanan. Inggris menyerukan “PKI dan semua organisasi komunis” harus dilenyapkan.
The Guardian menyebut propaganda hitam Inggris berasal dari “patriot Indonesia” yang diasingkan padahal ditulis oleh operator Inggris di Singapura.
Tidak ada bukti PKI terlibat dalam kudeta yang gagal. Justru Soeharto yang diuntungkan sehingga berhasil korupsi selama 32 tahun pemerintahannya.
South China Morning Post salah media asal China menulis keterlibatan Inggris dalam pembantaian 1965-1966 memang telah lama dicurigai.
Bersumber dari deklasifikasi dokumen Inggris baru-baru ini, unit propaganda bayangan dari Kantor Kementerian Luar Negeri Inggris membantu menghasut terjadinya pembantaian masssal di Indonesia sepanjang 1965-1966.
Akibatnya, pemerintahan Soekarno jatuh dan melegitimasi pelantikan diktator Soeharto.
South China Morning Post juga mengungkapkan campur tangan Inggris mengakibatkan ketakutan yang meluas terhadap pengaruh komunisme dan sentimen anti China meskipun tidak ada bukti bahwa China terlibat dalam gejolak di periode 1965.
Sementara media yang berbasis di Hongkong, UCA News, mengangkat isu keterlibatan Inggris dalam pembantaian 1965-1966 berdasar pemberitaan artikel The Guardian.
Dengan menyebarkan propaganda hitam yang dibuat Inggris sendiri, Inggris meminta orang-orang terkemuka Indonesia untuk “menyingkirkan” semua yang dianggap “kanker komunis”.
Tercatat ada 500 ribu orang hingga 3 juta orang tewas dalam pembantaian 1965-1966 di Indonesia karena dianggap komunis atau PKI.