JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komnas HAM Choirul Anam berharap, negara ikut turun tangan dalam melakukan mediasi terhadap perkara pidana terkait kebebasan berekspresi.
Harapan itu disampaikan Choirul menanggapi dua tahun periode pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Menurut dia, di era digital saat ini, siapapun bisa menggunakan haknya untuk berpendapat.
Namun, kondisi tersebut tak jarang memunculkan gesekan. Terutama, saat pendapat itu dianggap menjelekkan reputasi atau mencemarkan nama baik seseorang.
“Dalam konteks kebebasan berpendapat dan berekspresi bagi Komnas HAM ketika menyentuh reputasi dan nama baik didorongnya ke perdata saja, jadi negara tak perlu ikut campur,” terang Anam ditemui di Kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (19/10/2021).
“Tapi kalau negara mau ikut campur, ikut campurlah dengan memediasi. Jadi tidak dibawa ke ranah pidana, kebijakan itu harus segera diambil,” jelas dia.
Baca juga: Komnas HAM dan Propam Polri Tunjuk Penanggung Jawab Guna Optimalkan Pengawasan Kinerja Polisi
Anam memberi contoh tidak semua masyarakat tahu batasan mengemukakan pendapat. Apalagi saat ini, berbagai kelompok masyarakat memiliki gadget dan media sosial.
Dalam pendapat Anam, jika ada pendapat yang dianggap melanggar hukum, pemerintah melalui aparatnya dapat memilih penyelesaian perkara di luar ranah hukum.
“Tidak serta merta lalu dihukum, ada jalan lain untuk memberi sanksi, misalnya dengan pembinaan,” imbuhnya.
Diketahui permasalahan pidana kerap membayangi masyarakat yang mengutarakan pendapatnya di ruang publik.
Salah satu yang menjadi sorotan koalisi masyarakat sipil adalah penggunaan pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transformasi Elektronik (ITE) yang kerap dipakai untuk saling melaporkan antar masyarakat.
Presiden Joko Widodo bahkan menyoroti maraknya penggunaan UU ITE dalam masyarakat.
Baca juga: Kadiv Propam Temui Komnas HAM Bahas Penguatan Pengawasan Kinerja Polisi
Ia sempat meminta agar aparat penegak hukum bijak menanggapi penggunaan pasal karet dalam UU tersebut.
Jokowi juga sempat meminta agar revisi dilakukan pada pasal-pasal karet yang menimbulkan multitafsir.
Merespon permintaan Jokowi, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah memberikan arahan pada jajarannya agar mengedepankan penanganan kasus-kasus yang menggunakan UU ITE dengan pendekatan restorative justice.
Arahan itu disampaikan Listyo melalui Surat Edaran (SE) nomor SE/2/II/2021 tertanggal 19 Februari 2021.
Namun demikian, UU ITE dan pasal pencemaran nama baik masih digunakan untuk melaporkan sejumlah pihak.
Seperti yang dilakukan dua orang terdekat Jokowi yaitu Menteri Koordiantor Bidang Maritim dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko.
Baca juga: Komnas HAM Kecam Tindakan Polisi Banting Pedemo di Tangerang
Luhut melaporkan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti dan aktivis Haris Azhar ke Polda Metro Jaya atas dugaan pencemaran nama baik.
Hal itu dilakukan setelah Fatia dan Haris menduga Luhut punya hubungan dengan salah satu perusahaan tambang di Blok Wabu, Intan Jaya, Papua.
Sementara Moeldoko melaporkan dua aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha dan Miftachul Choir ke Bareskrim Polri atas dugaan tindak pidana yang sama.
Moeldoko melaporkan kedua peneliti tersebut karena disebut punya hubungan dengan produsen Ivermectin, PT Harsen Laboratories.
Dua kasus tersebut saat ini masih dalam proses penyelidikan pihak kepolisian.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.