JAKARTA, KOMPAS.com - Korps Pasukan Khas (Paskhas) TNI Angkatan Udara menjadi salah satu pasukan elite andalan Indonesia, yang mewakili matra dirgantara.
Tepat hari ini, Minggu (17/10/2021), pasukan yang dikenal dengan baret jingganya genap berusia 74 tahun.
Sejak didirikan pada 17 Oktober 1947, Paskhas mengalami perkembangan pesat, baik secara organisasi, sumber daya manusia (SDM) maupun faktor lainnya.
Baca juga: Penerjunan Kotawaringin, Asal Mula Terbentuknya Paskhas TNI AU
Perkembangan yang dialami Paskhas TNI AU juga menjadikannya sebagai pasukan tempur yang bersifat kompleks karena berkemampuan tiga matra sekaligus, yakni darat, laut, dan udara.
Hal ini juga yang menempatkan Paskhas menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem kekuatan matra udara.
Selain itu, Paskhas merupakan pelopor berdirinya pasukan elite militer Indonesia.
Keberadaannya pun sejajar dengan pasukan elite lainnya seperti Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD dan Marinir TNI AL.
Baca juga: Mengenal 6 Pasukan Elite TNI dengan Ciri Khas dan Kemampuan Khusus
Sejarah kelahiran Paskhas sendiri berangkat dari upaya bangsa Indonesia mempertahankan sekaligus mengusir Belanda dari Tanah Air yang telah memerdekan diri pada 17 Agustus 1945.
Dilansir dari dokumentasi Harian Kompas, pasca-kemerdekaan itu, gejolak pertempuran terus terjadi. Salah satunya terjadi di Kalimantan pada periode 1947.
Baca juga: Profil Suryadi Suryadarma, Bapak Angkatan Udara yang Bangun Kekuatan Angkasa NKRI
Untuk mempertahankan wilayahnya, pada Juli 1947, Gubernur Kalimantan kala itu, Mohammad Noor meminta kepada Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Surjadi Soerjadarma untuk menerjunkan pasukan payung guna membantu perjuangan rakyat Kalimantan.
Permintaan Noor kemudian diamini Soerjadi. Selanjutnya, Soerjadi memerintahkan Mayor Tjilik Riwoet untuk menyusun "Satuan Tugas Dakota RI-002". Satuan ini berisi 13 personel dari 45 orang yang sebelumnya diseleksi.
Tiga belas prajurit tersebut adalah Iskandar, M Dahlan, J Bitak, C Willem, J Darius, Achmad Kosasih, M Bachrie, Ali Akbar, Emanuel, Amirudin, Marawi, Hari Hadisumantri, dan F Sunyoto.
Baca juga: 6 Pesawat Tempur Andalan TNI AU, Burung Besi Penjaga NKRI
Dalam penerbangan ini juga diikuti oleh Amir Hamzah sebagai jump master dan Mayor Tjilik Riwoet sebagai pemandu jalan.
Saat itu, ketika pesawat sudah berada di wilayah udara medan operasi, ternyata terdapat satu prajurit yang menolak diterjunkan. Ia hanya duduk tertunduk di sudut ruangan pesawat.
Baca juga: Industri Pertahanan Berkembang, Ini Jajaran Alutsista Produksi Dalam Negeri
Mayor Tjilik Riwoet yang hanya bisa geram pun tak bisa memaksa prajurit tersebut untuk terjun payung bersama rekan-rekan lainnya.
Tepat pukul 07.00 WIB, mereka kemudian terjun di daratan daerah Sambi, Kotawaringin, Kalimantan Tengah. Setelah berhasil mendarat, pasukan ini kemudian menjalani penugasannya.
Pada 23 November 1947 dini hari, satu bulan lebih pasca-lepas landas dari Meguwo, mereka tiba-tiba diserang musuh di sebuah pondok yang dijadikannya sebagai markas pasukan kecil ini.
Dalam serangan mendadak ini, dua anggota gugur, yakni Iskandar dan Achmad Kosasih. Hari Hadisumantri terluka parah, yang pada akhirnya turut gugur beberapa saat kemudian.
Baca juga: TNI, Sejarah dan Tugas Pokoknya
Sedangkan, sisanya ditawan Belanda, termasuk Dachlan yang sempat melarikan diri beberapa hari dalam keadaan terluka.
Dikutip dari Paskhas.mid.id, peristiwa penerjunan di Kotawaringin pada 17 Oktober 1947 dikukuhkan sebagai hari jadi Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat), yakni 20 tahun kemudian setelah aksi penerjunan itu.
Hal itu berdasarkan Keputusan Men/Pangau Nomor 54 Tahun 1967 tertanggal 12 Oktober 1967.
Dalam perjalanannya, matra udara kemudian melakukan penyempurnaan organisasi serta pemantapan satuan-satuan TNI.
Penyempurnaan tersebut kemudian ditandai dengan adanya Keputusan KSAU Nomor Kep/22/iii/1985 tertanggal 11 Maret 1985.
Pada intinya, keputusan ini mengubah Kopasgat menjadi Pusat Pasukan Khas TNI Angkatan Udara (Puspaskhas).
Baca juga: Dirgahayu Korps Paskhas TNI AU, Karmanye Vadikaraste Mafalesu Kadatjana
Dengan perkembangan tugas, peran, fungsi, dan eksistensinya, Puspaskhas kemudian kembali mengalami reorganisasi. Hal itu ditandai dengan adanya Keputusan Pangab Nomor Kep/09/VII/1997 tertanggal 7 Juli 1997.
Isinya adalah status Puspaskhas ditingkatkan dari Badan Pelaksana Pusat (BPP) menjadi komando utama pembinaan. Sehingga sebutan Puspaskhas berubah menjadi Korps Pasukan Khas (Korpaskhas).
Pada 24 Maret 1999, KSAU mengeluarkan Surat Keputusan Nomor skep/73/III/1999 bahwa Korpaskhas membawahi 3 Wing Paskhas, Detasemen Bravo dan Detasemen Kawal Protokol Paskhas.
Baca juga: Saat Polri dan TNI Dipisahkan, Sebelumnya Bernaung dalam ABRI...
Setelah berubah status menjadi komando utama pembinaan dan sebagai konsekuensi dari surat keputusan tersebut, pada September 1999 dibentuklah Satuan Wing Paskhas.
Satuan Wing Paskhas ini terdiri dari tiga wilayah. Untuk wilayah barat, Wing I Paskhas di Jakarta yang membawahi tiga Skadron Paskhas dan empat Flight Paskhas BS.
Untuk wilayah timur, Wing II Paskhas di Malang membawahi tiga Skadron Paskhas dan dua Flight Paskhas BS. Sedangkan Wing III Diklat Paskhas di Bandung membawahi 3 Satuan Pendidikan.
Sejak kelahirannya hingga sekarang ini, Paskhas telah melewati berbagai operasi. Mulai dari Operasi Wibawa, Operasi Sadar, penumpasan G30S/PKI, hingga Operasi Trisula.
Paskhas sendiri mempunyai moto: Karmanye Vadikaraste Mafalesu Kadatjana. Kalimat ini memiliki makna: menunaikan tugas tanpa menghitung untung dan ruginya.
Moto tersebut senantiasa melekat dalam jiwa prajurit Paskhas dalam pelaksanaan tugas di mana pun dan kapan pun.
Hal inilah yang membuat para prajurit Paskhas menjadi pasukan elite yang sangat diandalkan dalam menjaga kedirgantaraan Indonessia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.