JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan rencana untuk mendirikan Partai Serikat Pembebasan.
Ide pendirian partai politik (parpol) disebut berasal dari eks Kepala Bagian Perancangan dan Produk Hukum pada Biro Hukum KPK Rasamala Aritonang.
Selain Rasamala, ada pula Novariza, Lakso Anindito, dan beberapa anggota Indonesia Memanggil 57 (IM57+) Institute. Organisasi itu berdiri setelah mereka diberhentikan dari KPK.
Rasamala menilai, partai politik (parpol) merupakan wadah yang efektif untuk membawa perubahan besar.
“Pemikirannya kalau mau bikin perubahan yang punya impact besar, partai politik adalah salah satu kendaraan strategis dalam sistem demokrasi,” ujar Rasamala, saat dihubungi, Rabu (13/10/2021).
Baca juga: Eks Pegawai KPK Berencana Bikin Parpol, Puskapol UI Ingatkan Rumitnya Syarat Pendirian
Menurut Koordinator IM57+ Institute Praswad Nugraha, pihaknya terus mematangkan wacana tersebut.
Praswad mengatakan, IM57+ Institute berpendapat perlu adanya konsentrasi khusus pada dua area pemberantasan korupsi, yaitu lembaga penegak hukum dan partai politik.
Selain itu, dalam waktu dekat mereka juga berencana bertemu beberapa tokoh partai politik, ketua umum, dan para pendiri partai politik dalam membangun diskursus yang konstruktif.
Terkait rencana tersebut, bukan hal yang baru ketika pegiat antikorupsi akhirnya memilih masuk politik praktis.
Sebelumnya, Johan Budi yang pernah menjabat sebagai Juru Bicara KPK periode 2006-2014 bergabung dengan PDI-P pada 2018.
Ia juga sempat menjadi Juru Bicara Kepresidenan pada 2016. Kini Johan duduk di Senayan dan menjadi anggota Komisi III DPR.
Selain Johan, ada pula Teten Masduki, mantan aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW).
Dikutip dari Kompaspedia, Teten pernah membongkar kasus korupsi petinggi Kejaksaan Agung di era pemerintahan Presiden BJ Habibie.
Ia juga tercatat pernah bergabung dengan Transparency International. Saat ini, Teten menjabat sebagai Menteri Koperasi dan UMKM.
Baca juga: Eks Pegawai KPK Berencana Dirikan Partai Politik
Namun demikian bergabungnya pegiat antikorupsi dalam politik praktis dan lingkar kekuasaan belum berdampak banyak pada agenda pemberantasan korupsi.
Indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia yang dirilis Transparency International Indonesia (TII), merosot.
IPK Indonesia pada 2020 turun tiga poin dari 2019, yakni dari skor 40 menjadi 37, dari rentang 0-100. Semakin tinggi skor, sebuah negara dipersepsikan bebas dari korupsi.
Dengan skor tersebut, peringkat Indonesia juga menurun, dari posisi 85 pada 2019 menjadi 102 dari 180 negara.
Skor IPK Indonesia bahkan di bawah empat negara tetangga yaitu Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Timor Leste.
Kemudian, berdasarkan hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis 8 Agustus 2021, mayoritas responden merasa tingkat korupsi di Indonesia meningkat dalam dua tahun terakhir.
Baca juga: Pukat Hormati Keinginan Salah Satu Eks Pegawai KPK yang Ingin Dirikan Parpol
Pada akhir 2020, KPK menetapkan dua menteri pada Kabinet Indonesia Maju yaitu Edhy Prabowo dan Juliari Batubara sebagai tersangka korupsi.
Ketika itu Edhy menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) dan Juliari sebagai Menteri Sosial (Mensos).
Edhy disebut melakukan korupsi terkait izin ekspor benih benur lobster (BBL), sementara Juliari terlibat perkara korupsi pengadaan paket bantuan sosial untuk warga Jabodetabek.
Edhy divonis bersalah dan dihukum 5 tahun penjara dan denda Rp 400 juta. Ia juga dikenakan pidana pengganti Rp 9,68 miliar dan 77.000 dollar AS.
Kemudian, Juliari divonis 12 tahun penjara dan denda Rp 500 juta. Majelis hakim juga mewajibkan Juliari membayar pidana pengganti senilai Rp 14,5 miliar.
Adapun Edhy merupakan kader Partai Gerindra. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Gerindra.
Sedangkan Juliari merupakan kader PDI-P. Ia pernah menjabat sebagai Badan Pemenangan Pemilu Pusat dan Wakil Bendahara Umum PDI-P.
Baca juga: Eks Pegawai KPK Ingin Bentuk Parpol, Johan Budi: Hak Warga Negara, Silakan Saja
Saat ini KPK dan Kejaksaan Agung juga sedang melakukan penyidikan atas dua kader Partai Golkar, yakni mantan Wakil Anggota DPR Azis Syamsuddin dan mantan Gubernur Sumatera Selatan Alex Noordin.
Azis tersandung skandal suap yang melibatkan mantan penyidik KPK Stepanus Robin Pattuju. Sedangkan Alex ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung terkait kasus pembelian gas bumi oleh PDPDE Sumatera Selatan tahun 2010-2019.
Banyaknya kader parpol yang terlibat korupsi dinilai akibat dari hilangnya proses demokratisasi internal.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman mengatakan, hilangnya demokratisasi membuat kebijakan parpol hanya dipengaruhi dan didominasi oleh segelintir pihak.
Proses pengambilan kebijakan ini berpengaruh juga pada penetapan kader yang dipilih untuk mengikuti kontestasi Pemilu. Akibatnya, lobi politik tidak terjadi di ruang demokrasi, namun didominasi peran kapital.
“Karena di Indonesia tidak mekanisme internal Parpol yang memastikan bahwa pencalonan itu dilakukan dengan proses-proses demokrasi,” tutur dia.
Dengan melihat fakta tersebut, apakah politik praktis atau pendirian parpol menjadi pilihan tepat bagi eks pegawai KPK untuk membuat perubahan, khususnya terkait pemberantasan korupsi?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.