Menurut Masyita, BPN Kota Pontianak mengeklaim sulit menemukan peta tanah tersebut, karena tidak adanya data atau surat yang dibawa oleh keluarga Baharuddin Lopa.
Hal itu diutarakan Kepala BPN Kota Pontianak saat itu, meski nama jalan tempat tanah tersebut berada sudah disampaikan Masyita.
Padahal, menurut Masyita, seharusnya BPN bisa membuka data tentang hak kepemilikan tanah masyarakat.
Tak puas dengan jawaban BPN Kota Pontianak, akhirnya Masyita menelusuri bersama timnya. Pada akhirnya, ditemukanlah peta tanah milik Baharuddin Lopa oleh tim Masyita.
Baca juga: Kronologi Pembelian Lahan untuk Rumah DP 0 Rupiah yang Rugikan Negara Rp 152,56 Miliar
Namun, tanah tersebut diketahui sudah tergerus menjadi sedikit dari 5 hektar menjadi sisa 3,7 hektar, diduga karena permainan mafia tanah.
Mengetahui hal itu, Masyita beserta timnya pun lantas memasang patok di tanah milik Baharuddin yang tersisa.
"Pada saat kami pasang patok, tiba-tiba datang preman-preman yang menganggap tanah itu milik klien mereka, mafia tanah. Jadi patok dan papan nama itu disuruh copot. Terus akhirnya, tim saya bertanya apakah punya surat-suratnya? Dia jawab enggak. Lalu mereka mengaku sebagai penasihat hukum si mafia ini," jelas Masyita.
Masyita kemudian mengetahui bahwa orang yang mengambil tanah Baharuddin Lopa diduga sebagai mafia tanah kelas kakap di Pontianak.
Baca juga: Tindakan Represif hingga Kriminalisasi Warnai Aksi Aparat Hadapi Konflik Lahan
Semakin panas, para preman itu pun mulai terlibat adu mulut dan mencoba beradu fisik. Akhirnya, tim Masyita memilih pulang dan meninggalkan preman itu.
Kejadian itu membuat Masyita marah, karena seolah BPN membiarkan masyarakat yang tengah berjuang merebut tanahnya kembali untuk bertempur dengan mafia.
"Ini karena BPN yang tidak terbuka soal data hak tanah, akhirnya BPN seakan-akan membiarkan masyarakat bertempur sendiri di lapangan dengan mafia, dengan preman itu," ucap Masyita.