Muhaimin menjelaskan, Syaikhona mengawali jejaring ulama-santri sejak belajar di beberapa pesantren di Jawa.
Setelah itu, Syaikhona melanjutkan pengembaraan intelektualnya ke Timur Tengah, yaitu Haramain.
"Sehingga secara transmisi intelektual bersambung ke tokoh-tokoh ulama besar di masanya," tutur Muhaimin.
Setelah mengembara di Timur Tengah, Syaikhona kembali ke Madura. Di sana, ia mendirikan pesantren yang kelak menjadi persemaian jejaring ulama-santri di Tanah Jawa.
Menurut Muhaimin, banyak sejarawan mengungkapkan keberadaan Syaikhona sebagai puncak tujuan pengembaraan ilmiah di Tanah Jawa.
Salah satu sejarawan yang disebutnya adalah Snouck Hurgronje. Muhaimin mengatakan, Snouck menulis soal temuan ajaran ngetan dan masantren yang terkait dengan Syaikhona.
Adapun ajaran ngetan dan masantren populer di kalangan masyarakat Sunda. Catatan yang sama juga disampaikan oleh seorang peneliti dari Jepang yaitu Hiroko Horikoshi saat melakukan penelitian di Garut pada 1972-1973.
"Dalam wawancaranya dengan sejumlah ulama di Garut, Hiroko Horikoshi mengungkap bahwa mereka mengingat-ingat kakek-neneknya dulu yang mengembara dan nyantri di sejumlah pesantren di Jawa Timur dan Madura di abad ke-19," ujar Muhaimin.
Baca juga: Syaikhona Kholil Bangkalan Diusulkan Mendapat Gelar Pahlawan Nasional, Ini Penjelasan Khofifah...
Hal serupa, lanjut Muhaimin, juga terungkap dalam catatan perjalanan Snouck Hurgronje di pesantren-pesantren Priangan pada 1890-an.
Disebut dalam catatan tersebut, banyak anak-anak santri Garut yang berguru ke pesantren-pesantren di Surabaya untuk belajar fiqih atau ke Madura untuk belajar ilmu Nahwu.
"Orang-orang Priangan punya istilah waktu itu ngetan, yang berarti berkelana ke timur, yakni nyantri ke pesantren-pesantren terkenal di Madiun, Surabaya dan Madura," jelas Muhaimin.
Ia mengatakan, belajar ilmu Nahwu di Madura tak lain adalah belajar kepada Syaikhona Muhammad Kholil.
Menurut Muhaimin, Syaikhona memiliki banyak santri yang menjadi ulama besar dan memiliki peran penting dalam pembangunan kebangsaan.
Dalam catatannya, santri-santri Syaikhona antara lain para pendiri Nahdlatul Ulama (NU), pendiri pondok pesantren besar di Jawa, termasuk Presiden Pertama RI Soekarno.
Syaikhona juga disebut kerap menuliskan catatan-catatan yang bersinggungan dengan nasionalisme.
Menurut Muhaimin, hal ini menjadi bukti penanaman nilai-nilai nasionalisme dan kebangsaan Syaikhona Kholil kepada santri-santrinya. Adapun catatan tersebut masih tertuang dalam manuskrip asli.
Berdasarkan manuskrip tersebut, kata Muhaimin, bukti otentik penanaman rasa kebangsaan dengan memberikan pemahaman kepada para santri bahwa mencintai bangsanya merupakan bagian dari iman.
"Manuskrip ini menegaskan bahwa ajaran tentang nasionalisme kepada santri menjadi hal yang utama, di samping pembelajaran tentang agama, seperti kajian fikih, nahwu, sharrof dan sebagainya. Hal ini menyiratkan komitmen kebangsaan yang luar biasa dari Syaikhona Muhammad Kholil," tutur Muhaimin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.