JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan mengkritik pembiayaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang akhirnya menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Pasalnya, Pemerintah disebut telah berjanji untuk tidak menggunakan APBN dan menyerahkan kepada BUMN untuk menggunakan skema Business to Business (B to B).
Syarief menyebut, Pemerintah harusnya menepati janjinya untuk tidak menggunakan APBN mengingat situasi sudah berat karena pandemi Covid-19.
"Dalam beberapa waktu terakhir, APBN sangat berat dengan adanya pandemi Covid-19. Harusnya, APBN tidak semakin diberatkan dengan proyek kereta cepat yang dulunya dijanjikan tidak menggunakan APBN," kata Syarief Hasan dalam keterangannya, Selasa (12/10/2021).
Baca juga: Ibas Minta Proyek Kereta Cepat Diaudit Menyeluruh
Syarief mengingatkan, Presiden Joko Widodo melalui laman Sekretaris Kabinet pada 15 September 2015 pernah berjanji bahwa kereta cepat yang merupakan proyek kerja sama dengan China tidak akan menggunakan APBN.
Presiden Jokowi berjanji akan menyerahkan kepada BUMN agar dapat menggunakan skema business to business.
"Namun, janji tersebut seperti dibantah sendiri oleh Pemerintah dikarenakan Presiden Jokowi telah mengeluarkan Perpres Nomor 93 Tahun 2021 yang di dalamnya mengizinkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung untuk didanai APBN," jelas Syarief.
Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrati itu menilai, langkah Pemerintah ini menuai protes dari masyarakat yang menagih janji Presiden.
Syarief Hasan menyebut, APBN harusnya difokuskan pada program-program kritikal dan esensial.
“APBN harusnya difokuskan pada program-program yang dirasakan langsung oleh masyarakat, khususnya di masa Pandemi Covid-19," kata dia.
Adapun APBN menurut dia, harus difokuskan pada penanganan pandemi Covid-19, seperti pemulihan ekonomi nasional, pembukaan lapangan kerja baru, dan program esensial lainnya.
Ia mengeklaim, Demokrat sejak awal mengingatkan terkait proyek kereta cepat kerja sama dengan China yang tak terencana dengan baik.
"Kereta cepat ini juga belum menjawab masalah di masyarakat kecil. Namun, Pemerintah berdalih tidak akan menggunakan APBN, tapi nyatanya menggunakan APBN juga," ungkap dia.
Lebih lanjut, ia menerangkan perlunya audit terlebih dahulu dengan melibatkan lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait anggaran kereta cepat.
"Karena apabila akan menggunakan APBN, perlu dilakukan audit agar semuanya transparan, mulai dari proses awal, perencanaan penganggaran dan proses penentuan harga dan effisiensi anggaran, dan sebagainya," tegasnya.
Politisi senior Demokrat ini mengingatkan agar Pemerintah melihat prioritas kebijakan dalam menggunakan APBN.
Ia mengaku khawatir jika APBN akan semakin sulit dengan adanya proyek kereta cepat ditambah lagi proyek ibukota baru.
Baca juga: Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Mau Pakai APBN, Apa Dampaknya?
"Pemerintah harus melihat prioritas yang dibutuhkan masyarakat yakni pemulihan ekonomi nasional, bukan proyek besar yang tidak dinikmati masyarakat kecil dan menyedot APBN," pungkasnya.
Diberitakan, Presiden Jokowi telah meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Ada sejumlah revisi dalam regulasi terbaru tersebut, di mana salah satunya proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung kini bisa didanai APBN, satu hal sebelumnya sempat tidak diperbolehkan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.