JAKARTA, KOMPAS.com - Dosen Universitas Syiah Kuala (Unsiyah) Banda Aceh, Saiful Mahdi, memberikan tanggapan atas pemberian amnesti atas kasus pencemaran nama baik yang menjerat dirinya.
Tanggapan itu disampaikan Saiful dalam sesi kunjungan secara virtual pada Sabtu (9/10/2021).
Kunjungan lewat Zoom meeting tersebut diinisiasi pihak keluarga dan kuasa hukum Saiful yang mendapat izin dari Lapas Kelas II A Banda Aceh.
Media diberi kesempatan mengikuti sesi kunjungan ini.
Baca juga: Stafsus Mensesneg: Amnesti untuk Saiful Mahdi Bentuk Komitmen Negara Lindungi Kebebasan Berpendapat
"Semoga amnesti ini tidak menjadi sesuatu yang terakhir, tapi sebagai awal untuk merevisi total UU ITE," ujar Saiful.
Dia menuturkan, ada ratusan korban dari pengenaan "pasal karet" yang terdapat di UU ITE.
Mayoritas korban berasal dari kalangan jurnalis, akademisi, aktivis, advokat, dan ibu rumah tangga.
Data ini dia sampaikan dari hasil rekapitulasi Paguyuban Korban UU ITE yang dia ikuti.
Paguyuban ini, kata dia, berisi orang-orang yang menjadi korban UU ITE.
Baca juga: Berkaca Kasus Saiful Mahdi, Koalisi Advokasi Minta Pemerintah dan DPR Serius Bahas Revisi UU ITE
Oleh karenanya, Saiful berharap pemberian amnesti ini dapat menjadi preseden dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan pencemaran nama baik dan UU ITE.
"Kalau ada orang yang mengalami kasus sepeti saya agar tidak sampai harus berproses sekian lama. Mengeluarkan banyak energi dan sumber daya, termasuk sumber daya negara," ungkapnya.
Terlebih lagi, saat ini di berbagai negara telah memasukkan pencemaran nama baik ke dalam ranah perdata, bukan pidana.
Meski begitu, Saiful menyampaikan rasa syukur dan terima kasih.
"Alhamdulillah saya bersyukur kepada Allah, terima kasih kepada Presiden Jokowi, Menko Polhukam Mahfud MD, pimpinan dan anggota DPR RI untuk dukungannya buat (pemberian) amnesti," lanjutnya.
"Ini sesuatu yang tentunya istimewa karena tidak semua orang bisa dapatkan itu," tutur Saiful.