JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang uji materi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Senin (4/10/2021).
Perkara tersebut diajukan oleh Tuti Atika yang pernah menjadi panitera pengganti pada Pengadilan Negeri Tangerang.
"Jadi, kami rasakan memang selama ini menurut kita itu ada kekeliruan, Pak, dalam penerapan hukum, terutama Undang-Undang Tipikor," kata Akhmad selaku kuasa pemohon dikutip dari siaran YouTube, Selasa (5/10/2021).
Baca juga: MK Tolak Permohonan Uji Materi Pasal 11 UU Tipikor yang Diajukan Patrice Rio Capella
Adapun materi yang dimohonkan untuk diuji yakni Pasal 11 dan Pasal 12 huruf c UU Tipikor, serta Pasal 55 Ayat 1 ke-1 dan Pasal 64 Ayat 1 KUHP.
Berdasarkan berkas permohonan, pada 28 Agustus 2018, pemohon dikenakan hukuman empat tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor di Pengadilan Negeri Serang serta denda sejumlah Rp 200 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar akan diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.
Kemudian, pada 12 November 2018, Putusan Pengadilan Tinggi Banten menguatkan putusan Pengadilan Tipikor.
Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditujukan kepada pemohon adalah atas pelanggaran Pasal 11 dan 12 huruf c UU Tipikor.
Baca juga: Mantan Anggota DPR Patrice Rio Capella Gugat Pasal 11 UU Tipikor ke MK
Adapun Pasal 11 berbunyi: "Dipidana dengan pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 dan paling banyak Rp 250.000.000,00 pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya".
Sementara itu, Pasal 12 huruf c berbunyi: "Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili".
Akhmad mengatakan, berdasarkan fakta, Tuti yang merupakan istrinya kala itu bukan menjabat sebagai hakim tetapi hanya sebagai panitera pengganti yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS).
Baca juga: ICW Desak Revisi UU Tipikor, Salah Satunya Hapus Pasal Hukuman Mati
Oleh karena itu, dia menilai tidaklah dapat menurut hukum jika Tuti dikualifikasikan sebagai orang yang ikut serta melakukan sebagaimana dimaksud didalam Pasal 55 Ayat 1 KUHP.
"Jadi semua saya lihat dari mulai pasal Tipikor Pasal 11 dan Pasal 12C maupun Pasal 64 maupun Pasal 51, itu semua diperuntukkan kalau menurut analisa saya diperuntukkan untuk pejabat yang sah dan berwenang (memutus perkara)," ucap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.