Kejadian ini direkam dengan dengan kamera dan ditayangkan di acara kriminal stasiun televisi swasta.
Dengan sikap tidak mau tahu dan ingin menang sendiri, (mantan) anggota dewan ini merasa berhak dan boleh memutar kendaraan di penggal jalan yang dilarang untuk memutar.
Sebagai anggota dewan (sekali lagi mantan) dirinya merasa berjasa ikut menggelontorkan dana APBN bagi kepolisian.
Penonton siaran acara ini menjadi mahfum betapa berkuasanya anggota dewan, termasuk dalam menerabas larangan lalu lintas. Itu pun dengan surat izin mengemudi (SIM) yang kedaluarsa.
Andai kebijakan seperti PSI ini diterapkan juga di partai-partai lain maka transparansi, akuntabiltas dan pertanggungjawaban kepada pemilih tidak lagi sekedar menjadi “kredo” kosong dalam tata kelola kepartaian.
Partai harus berani menjadi contoh kebaikan untuk edukasi literasi politik bagi calon pemilih. Sebuah investasi politik jangka panjang.
Selama ini majelis kehormatan partai, apapun partainya, baru akan menjatuhkan sanksi tata tertib partai setelah proses hukum selesai. Alasannya, menghormati asas praduga tak bersalah.
Padahal, tuntasnya proses peradilan umum membutuhkan waktu yang tidak sebentar sementara dampak degradasi kepercayaan dari konstituen dan simpatisan berproses dengan cepat.
Ambil contoh kasus rasuah yang menjerat mantan Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin. Partai Golkar seharusnya tidak perlu menunggu proses peradilan Azis tuntas. Fakta-fakta persidangan mantan Bupati Lampung Tengah Mustafa yang kasusnya terkait dengan Azis bisa jadi dasar pemecatan Azis.
Golkar seperti galau, begitu takut kehilangan satu orang Azis. Padahal di luar sana mungkin banyak kader-kader lain yang kapasitasnya jauh lebih mumpuni daripada Azis Syamsuddin.
Dewan pengurus pusat partai terkesan begitu “melindungi” kader-kadernya yang bersalah. Para elite partai juga berharap ingatan kolektif publik akan hilang dengan berjalannya waktu.
Padahal kasus-kasus yang menyita perhatian publik begitu sulit dilupakan bahkan menjadi “rekam jejak” yang mudah dimunculkan di era sekarang ini.
Publik tentu tak akan lupa bahwa kasus korupsi Hambalang terkait dengan Partai Demokrat. Begitu juga kasus korupsi Bansos yang dilakukan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara terkait dengan PDI Perjuangan.
Ada lagi kasus suap kuota impor daging sapi dengan segala cerita di balik layarnya yang tak bisa dihapus dari citra PKS.
Kasus pengurusan izin ekspor benih bening lobster mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo sulit ditanggalkan dari Gerindra.
Masih banyak lagi sederet dosa-dosa partai politik terkait korupsi. Begitu sempurnanya karut marut tata kelola manajemen kepartaian di republik ini.
Tata kelola kepartaian memang butuh keberanian. Bukan sekadar bussiness as usual ala kadarnya atau begitu-begitu saja.
Mengelola partai butuh visi yang mendobrak kemapanan. Partai adalah representasi kepercayaan publik.
Sekali lancung mengelola partai sama saja melukai kepercayaan publik. Siap-siaplah untuk dihukum pemilih di pemilu mendatang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.