JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dan masyarakat diminta memperlakukan korban tragedi 1965 sebagai mantan tahanan politik, bukan mantan tahanan kriminal.
Menurut Kepala Pusat Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (Pusdema) Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Baskara T Wardaya, para eks tapol bukanlah orang-orang yang ditahan karana tindakan kriminal.
Namun, mereka ditahan karena perbedaan pandangan politik dengan pihak yang berkuasa saat itu.
“They are not a criminal, mereka bukan penjahat yang ditahan karena membunuh, mencuri atau korupsi,” kata Baskara pada Kompas.com, Jumat (1/10/2021).
“Mereka ditahan bukan karena mereka jahat, tetapi karena pandangan politik yang berbeda dengan penguasa,” kata dia.
Baskara mengatakan, saat ditangkap, korban tragedi 1965 rata-rata masih berusia 20 tahun.
Pada usia itu, kata Baskara, mereka yang ditangkap sedang bersemangat untuk menyampaikan aspirasinya untuk kemajuan negeri.
“Bahwa aspirasi itu kemudian berbeda dengan keinginan penguasa itu urusan berbeda, tetapi mereka juga adalah orang-orang yang punya cita-cita untuk negeri ini,” kata dia.
Baskara mengatakan penyampaian aspirasi itu bukan hal yang salah karena juga dijamin oleh konstitusi.
Oleh karena itu, ia berharap pemerintah mau mengakui secara formal bahwa terjadi pelanggaran HAM berat tahun 1965.
“Syukur-syukur bisa secara formal meminta maaf pada para korban, seandainya tidak, tolonglah itu (pelanggaran HAM berat) terjadi, perkara siapa benar siapa salah itu nanti,” kata dia.
Baca juga: Bangsa Indonesia Perlu Dipulihkan dari Tragedi 1965
Carut marut sejarah 1965 masih terus terjadi. Dalam sejarah versi pemerintah, PKI disebut menjadi dalang atas pembunuhan para jenderal.
Di sisi lain, pasca-orde baru banyak sumber sejarah yang mengatakan sebaliknya.
Bahkan, terjadi penangkapan, penyiksaan, penahanan hingga pembunuhan pada orang-orang yang terafiliasi PKI.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo pada tahun 2016 sempat mengadakan Simposium Tragedi 1965 bersama dengan Luhut Binsar Pandjaitan yang menjabat sebagai Menkopolhukam kala itu.