Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketakutan Masyarakat pada Komunisme yang Dibuat Orde Baru Menjadi Salah Satu Kesulitan Penyelesaian Tragedi 1965

Kompas.com - 01/10/2021, 19:14 WIB
Tatang Guritno,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) menilai, ketakutan masyarakat pada komunisme menjadi salah satu faktor yang menyulitkan penyelesaian perkara tragedi 1965.

Staf Divisi Advokasi Kontras Tioria Pretty mengungkapkan, ketakutan itu disebarkan oleh pemerintahan orde baru yang berkuasa selama 32 tahun.

“Bayang-bayang ketakutan akibat narasi-narasi ini, seperti komunis yang kejam atau atheis dan sebagainya yang menempel dalam memori mayoritas penduduk Indonesia,” tutur Pretty pada Kompas.com, Jumat (1/10/2021).

Baca juga: September 1965 dan Kisah Orang-orang Buangan...

Selain itu tantangan selanjutnya adalah perbedaan pandangan antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Jaksa Agung terkait dengan status pelanggaran HAM pada tragedi 1965.

“Perbedaan pendapat antara Komnas HAM dan Jaksa Agung terkait apa yang dimaksud dengan ‘bukti yang cukup’ itu juga menjadi kendala mengapa perkara 1965 tidak maju-maju secara hukum,” ungkap dia.

Diketahui Kontras mencatat sampai saat ini masih ada 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum dituntaskan oleh pemerintah salah satunya adalah tragedi 1965.

Lebih lanjut, Pretty mengatakan bahwa imbas dari penyebaran narasi dari pemerintah orde baru tentang peristiwa 1965 membuat para korban masih mendapatkan stigma negatif dari masyarakat.

“Ketika mereka berkumpul terkait sosialisasi bantuan dari LPSK, mereka masih ditolak warga sekitar dengan tuduhan perkumpulan komunis, juga dibubarkan kepolisian karena dinilai meresahkan,” terang Pretty.

“Kemudian kasus seorang penyintas bernama Ibu Nani yang harus menggugat dan menang dulu di tingkat PTUN untuk mendapatkan KTP seumur hidup,” jelasnya.

Baca juga: Komisioner Komnas HAM Sayangkan Belum Ada Langkah Ungkap Kebenaran Peristiwa 65

Pretty berpendapat kasus-kasus tersebut merupakan contoh dari dampak tidak diselesaikannya persoalan tragedi 1965.

Bahkan setelah berpuluh-puluh tahun tragedi itu terjadi, korban tragedi 1965 juga masih mendapatkan tindakan ketidakadilan.

“Ada yang tanahnya dirampas, hak kewarganegaraannya belum kembali, dan banyak lagi ketidakadilan yang masih mereka terima karena perkaranya belum diselesaikan, hak korban belum dipulihkan,” pungkas Pretty.

Diketahui tragedi 1965 merujuk pada peristiwa pembunuhan sejumlah jenderal yang kemudian diberi gelar Pahlawan Revolusi.

Baca juga: Megawati: Tak Bisakah Sejarah 1965 Diluruskan Kembali?

Peristiwa itu kemudian menjadi peristiwa tragedi kemanusiaan dan politik yang membuat pemerintahan orde lama Soekarno digantikan oleh pemerintahan orde baru pimpinan Soeharto.

Pasca gugurnya Jenderal Revolusi, pemerintah orde baru mengklaim PKI merupakan dalang peristiwa itu.

Hal itu kemudian membuat orang-orang yang berafiliasi dengan PKI ditangkap, dipenjara, disiksa, dan dibunuh tanpa proses hukum dari negara.

Organisasi masyarakat sipil menduga ratusan ribu hingga jutaan orang menjadi korban atas tragedi tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

PDI-P Tak Pecat Jokowi, Komarudin Watubun: Kader yang Jadi Presiden, Kita Jaga Etika dan Kehormatannya

Nasional
Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Menko Polhukam: 5.000 Rekening Diblokir Terkait Judi Online, Perputaran Uang Capai Rp 327 Triliun

Nasional
Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Golkar Sebut Pembicaraan Komposisi Menteri Akan Kian Intensif Pasca-putusan MK

Nasional
KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

KPU: Sirekap Dipakai Lagi di Pilkada Serentak 2024

Nasional
Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Pasca-Putusan MK, Zulhas Ajak Semua Pihak Bersatu Wujudkan Indonesia jadi Negara Maju

Nasional
Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Temui Prabowo di Kertanegara, Waketum Nasdem: Silaturahmi, Tak Ada Pembicaraan Politik

Nasional
Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Momen Lebaran, Dompet Dhuafa dan Duha Muslimwear Bagikan Kado untuk Anak Yatim dan Duafa

Nasional
Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk 'Distabilo' seperti Era Awal Jokowi

Deputi KPK Minta Prabowo-Gibran Tak Berikan Nama Calon Menteri untuk "Distabilo" seperti Era Awal Jokowi

Nasional
Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Usul Revisi UU Pemilu, Anggota DPR: Selama Ini Pejabat Pengaruhi Pilihan Warga Pakai Fasilitas Negara

Nasional
KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

KPU Mulai Rancang Aturan Pemutakhiran Daftar Pemilih Pilkada 2024

Nasional
Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Waketum Nasdem Ahmad Ali Datangi Rumah Prabowo di Kertanegara

Nasional
Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Sebut Hak Angket Masih Relevan Pasca-Putusan MK, PDI-P: DPR Jangan Cuci Tangan

Nasional
Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Bicara Posisi Politik PDI-P, Komarudin Watubun: Tak Harus dalam Satu Gerbong, Harus Ada Teman yang Mengingatkan

Nasional
Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Anggota Komisi II DPR Nilai Perlu Ada Revisi UU Pemilu Terkait Aturan Cuti Kampanye Pejabat Negara

Nasional
Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Proses di PTUN Masih Berjalan, PDI-P Minta KPU Tunda Penetapan Prabowo-Gibran

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com